Wednesday, September 21, 2011

Mari Mengendalikan Lisan Kita

Lidah adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya lidah itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).
Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan, “Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqaomah, maka kami juga istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/511-512)
Oleh karena itulah, sepantasnya seorang mukmin menjaga lidahnya. Tahukah Anda jaminan bagi orang yang menjaga lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).
Beliau juga menjelaskan, bahwa menjaga lidah merupakan keselamatan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau menjawab, “Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”. (H.R. Tirmidzi, no.2406)
Yaitu janganlah engkau berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).
Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.
Dan Imam Asy-Syafi’i telah berkata, ‘Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbiacra hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.’” [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].
Selain itu, bahwa lidah merupakan alat yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan lidahnya, isi pembicaraannya, hal itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau enggan.
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu’adz berkata, “Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena sesungguhnya lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya.” [Hilyatul Au'iyaa', 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani]
Perkataan Para Salaf Tentang Hifzhul Lisan
Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa menjaga dan menghisab lidahnya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan lidah dan pembicaraan. Kami sampaikan di sini sebagiannya agar kita dapat memetik manfaat darinya.
Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barangsiapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya.” [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M]
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan, “Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah!” [Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]
Syaqiq mengatakan, “‘Abdullah bin Mas’ud ber-talbiyah di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan, ‘Wahai lidah, katakanlah kebaikan niscaya engkau mendapatkan keberuntungan, diamlah niscaya engkau selamat, sebelum engaku menyesal.’ Orang-orang bertanya, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?’ Dia menjawab, ‘Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (HR. Thabarani, Ibnu ‘Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah mengatakan, “Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi lidahnya sambil berkata ‘Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engaku akan menyesal.’” [Aafatul Lisaan, hlm. 161]
Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata, “Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]
Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu ditanya tentang keadaannya, dia menjawab, “Aku diperiksa tentang satu kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan, ‘Manusia sangat membutuhkan hujan!’ Aku ditanya, ‘Tahukah engkau, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?” [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Seorang mukmin itu menyedikitkan omongan dan memperbanyak amalan. Adapun orang munafik, dia memperbanyak omongan dan menyedikitkan amalan.”
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku.”
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi.” [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]
Kesimpulannya adalah bahwa kita diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta’an.
MASHAADIR:
1- Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani
2- Al-Adzkaar, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M
3- Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4- Hashaaidul Alsun, karya Syaikh Husain Al-’Awaisyah, penerbit. Darul Hijrah. Dan lain-lain.

Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Artikel www.UstadzMuslim.com

Tuesday, September 20, 2011

A REMINDER TO MYSELF FIRST.............................

  A deed SO special....yet so easy
by Asma bint Shameem
 
Would you like to know of a deed.....
that will take you away from Hellfire a distance of seventy years? And every single time you do it, it takes you away another seventy years!
.....A deed that will act as a shield for you from Hell Fire and be an intercessor for you on the Day of Resurrection?!
.....A deed that is so beloved to Allaah that He said: "It is for Me and I will reward him for it (beyond measure).” (Bukhari – Hadith Qudsi)
 
Subhaan Allaah! What a wonderful deed that would surely be!
That deed, dear brother/sister is....fasting.
Our beloved Prophet (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) said: “No servant fasts a day for the sake of Allah except that Allah removes the hellfire seventy years away from his face.” (Muslim)
And he (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) also said: “The fast and the Qur'aan are two intercessors for the servant of Allah on the Day of Resurrection. The fast will say: ‘O Lord, I prevented him from his food and desires during the day. Let me intercede for him.’ The Qur'aan will say: ‘I prevented him from sleeping at night. Let me intercede for him.’ And their intercession will be accepted.” (Ahmad-saheeh)
But, mind you, I am not talking about fasting in the month of Ramadhaan. Obviously that fasting is fard on us and we really don't have much choice in that matter.
What I am talking about is the 'nafl' fast....the fast that is purely voluntary....... not because you have to fast. But because you want to fast......because you love to fast....for the sake of Allaah...just to please Him.
And if you do that, sincerely, for His sake, this nafl fasting will bring you closer to Allaah and earn his Great Pleasure and Love. It will also be a means to purify your soul and strive against your desires, while earning immense reward from Allaah, Subhaanahu wa Ta'ala.
Allaah says: “My slave does not draw near to Me with anything more beloved to Me than the religious duties I have enjoined upon him, and My slave continues to draw near to Me with supererogatory works so that I will love him, When I love him, I am his hearing with which he hears, he seeing with which he sees, his hand with which he strikes and his foot with which he walks. Were he to ask [something] of Me, I would surely give it to him, and were he to ask Me for refuge, I would surely grant him it.” (al-Bukhaari-Hadeeth Qudsi). 
Subhaan Allaah! Imagine....Allaah loving you.....yes, you! What more could a person ask for?!!!
That's for the Dunya. And what about the Aakhirah? This fasting will take you to Jannah, the Ultimate Goal, the Supreme Success.
Abu Umamah said: “I came to the Messenger of Allah (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) and said: ‘Order me to do a deed that will allow me to enter Paradise.’ He said: ‘Stick to fasting, as there is no equivalent to it.‘ Then I came to him again and he said: ‘Stick to fasting.”‘ (an-Nasa’ee--saheeh)
The Prophet (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) used to love to fast, especially on Mondays and Thursdays. When asked why he does that, he (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) said:
“Those are two days on which people’s deeds are shown to the Lord of the Worlds, and I want my deeds to be shown to Him when I am fasting.” (al-Nasaa’i, Ibn Maajah, Ahmad-- saheeh by al-Albaani)
Wouldn't you like your deeds to be shown to Allaah while you are fasting?
And if you find it difficult to fast every Monday and Thursday, then try and fast at least three days out of every month. It is recommended to fast on the thirteenth, fourteenth and fifteenth (Ayyam al-Beed) of every Lunar month. However, if it is difficult, then fast any three days in the entire month. And that means any three days out of thirty. Now that's not too hard....is it?!!
The Prophet (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) said: “Fasting three days of each month is fasting for a lifetime, and ayaam al-beed are the thirteenth, fourteenth and fifteenth.” (al-Nasaa’i-- saheeh by al-Albaani)
Someone asked Aaisha (RA) :"Did the Messenger of Allaah (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) fast three days of every month?” She said, “Yes.” They asked: “Which days of the month did he fast?” She said, “He did not mind which days of the month he would fast.” (Muslim)
And if you think about it, it's really not that hard at all. With a little patience and the hope of earning reward, one can easily get used to fasting. Alhamdulillaah we fasted a whole month in Ramadhaan. And we proved to ourselves during this month, that we can do everything, from going to work, to working in the kitchen, studying, driving, thinking, cooking, cleaning, in fact, doing all our duties and chores extremely effectively even while fasting. And if we can do all that while fasting for an entire month, what's a couple of days in a week or three days in a month?Amir ibn Abdullah was once asked, "How can you tolerate being awake all night, and thirsty in the intense heat of the day?"  He replied, "Is it anything more than postponing the food of the day to nighttime, and the sleep of the night to daytime?  This is not a big matter."
Al-Fudayl ibn ‘Ayaad said: “If you cannot pray qiyaam al-layl, or fast during the day, know that you are indeed deprived and restricted, chained by your sins.”
 
It is also Sunnah to fast the day of ‘Aashoora’ (tenth of Muharram), the day of ‘Arafaah, (ninth of Dhu’l-Hijjah), the six days of Shawwaal, most of the months of Muharram and Sha'baan, along with general voluntary fasting.
 
So do as the Prophet (sal Allaahu Alaiyhi wa Sallam) advised us and make the most of your time, young age and good health before it is gone: 
“Make the most of five things before five (other things happen): your life before you die, your good health before you become sick; your free time before you become busy; your youth before you grow old; and your wealth before you become poor.”  (saheeh by al-Albaani)
 
“And march forth in the way (which leads to) forgiveness from your Lord, and for Paradise as wide as the heavens and the earth, prepared for Al-Muttaqoon (the pious)” [Aal ‘Imraan 3:133] 


Wassalam,
Al Huda Institute, Canada

Monday, September 19, 2011

Sebab-Sebab Turunnya Rizki


Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup.
Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka.
Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut:
- Takwa Kepada Allah
Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah. Allah Subhannahu wa Ta"ala berfirman, artinya,
"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya." (At Thalaq 2-3)
Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, "Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya."
Allah swt juga berfirman, artinya,
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. 7:96)
- Istighfar dan Taubat
Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam ,
"Maka aku katakan kepada mereka:"Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun" niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (QS. 71:10-12)
Al-Qurthubi mengatakan, "Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan."
Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, "Beristighfarlah kepada Allah", lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Ada lagi yang mengatakan, "Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!" Maka beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah."
Maka orang-orang pun bertanya, "Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar." Beliau lalu menjawab, "Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh,(seperti tersebut diatas, red)
Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.
- Tawakkal Kepada Allah
Allah swt berfirman, artinya,
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. 65:3)
Nabi saw telah bersabda, artinya,
"Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang." (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)
Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata.
Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.
- Silaturrahim
Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut:
-Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya,
"Dari Abu Hurairah ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim." (HR Al Bukhari)
-Sabda Nabi saw, artinya,
"Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur." (HR. Ahmad dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram.
- Infaq fi Sabilillah
Allah swt berfirman, artinya,
"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya." (QS. 34:39)
Ibnu Katsir berkata, "Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak."
Juga firman Allah yang lain,artinya,
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. 2:267-268)
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, "Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu." (HR Muslim)
- Menyambung Haji dengan Umrah
Berdasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Mas"ud Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya,
"Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pande besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga." (HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani)
Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikuti haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambung umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji.
- Berbuat Baik kepada Orang Lemah
Nabi saw telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya,
"Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian." (HR. al-Bukhari)
Dhu"afa" (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.
- Serius di dalam Beribadah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Allah Subhannahu wa Ta"ala berfirman, artinya,
"Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu."
Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu" hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.
Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin.
Al-Sofwah( Sumber: Kutaib "Al Asbab al Jalibah lir Rizqi", al-qism al-ilmi Darul Wathan. )

Sunday, September 18, 2011

Ajak Anak Berempati kepada Sesama

E-mail Print PDF
Banyak orangtua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan agama pada anak-anaknya sehingga mereka hidup tanpa tuntunan. Padahal agama memberikan panduan lengkap mendidik anak.

Anak ibarat kertas putih, yang bisa ditulis dengan tulisan apa saja. Peran orangtua sangatlah vital. Karena melalui orangtualah, anak akan menjadi manusia yang baik atau tidak.

Rasulullah SAW, sebagai teladan paripurna, telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik dan mempersiapkan anak. Dan hal yang paling penting adalah keteladanan dalam melakukan hal-hal yang utama. Inilah yang secara istidarnah harus dilakukan orangtua. Bukan hanya memerintah dan menyalahkan, tapi yang lebih penting adalah contoh konkret. Secara simultan hal itu juga harus ditopang oleh lingkungan, pergaulan, dan masyarakat.

Pendidikan Islam benar-benar telah memfokuskan perhatian pada pengkaderan individu dan pembentukan kepribadian secara Islami. Semua itu dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga pendidikan Islam di dalam masyarakat tempat ia tinggal. Dan lembaga pendidikan Islam paling dini adalah orangtua dan keluarga, yang berperan sebagai madrasah pertama dalam kehidupan individu.

Seorang anak menjalankan seluruh kehidupannya di dalam lingkungan keluarga, maka keluarga sangat bertanggung jawab dalam mengajari anak ten-tang berbagai macam perilaku Islami. Keluarga juga bertanggung jawab untuk membekali anak dengan nilai-nilai pendidikan sosial yang baik.

Yang harus diperhatikan dan sangat penting dalam kehidupan anak yaitu pendidikan aqidah, lalu pendidikan rukun iman, pendidikan ibadah, dan pendidikan akhlaq. Sangat penting diajarkan kepada anak bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang mempunyai akhlaq yang mulia. Dan itu juga ditopang dengan contoh yang mereka temukan di dalam keluarga dan lingkungan.

Setiap anak muslim hendaknya diajari untuk selalu berakhlaq baik, seperti sikap ihsan, amanah, ikhlas, sabar, jujur, tawadhu, malu, saling menasihati, adil, membangun silaturahim, menepati janji, mendahulukan kepentingan orang lain, suci diri, dan pemaaf.

Akhlaq yang baik merupakan fondasi dasar dalam ajaran Islam. Dan akhlaq yang baik diperoleh dengan berjuang untuk menyucikan jiwa, mengarahkannya untuk berbuat tact, dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karena itu perbuatan ibadah tidak lain merupakan sarana untuk mencapai akhlaq yang baik. Dalam hal ini Rasulullah SAW adalah contoh yang paling baik, teladan yang paripurna, duniaakhirat. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS Al Qalam:4). Rasulullah SAW bersabda, "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq." (HR Al-Bukhari).
Tengoklah adegan dibawah ini yang mungkin sering terjadi di sekitar kita.
“Bunda, anak itu kasihan ya masih kecil harus jadi pedagang asongan di jalan ?” ujar Rahma dengan pandangan yang tak mau lepas dari anak kecil tersebut (9th)  kepada ibunya. “Iya, berate kamu harus bersyukur masih bisa bersekolah dan bermain tanpa harus besusah payah berjualan di jalanan seperti itu”Bunda, uang ini aku mau berikan ke dia, bolehkan?”. “Jangan sayang, uang itu kamu belikan aja permen/tisu, pasti dia akan senang” saran ibunya. Rahma pun menghampiri anak tersebut dan segera membeli permen, setelah menyerahkan selembaran ribuan ke anak tersebut. Terlihat binar kebahagiaan dari mata Rahma & anak tersebut. jawab ibunya.. Kemudian Rahma mengeluarkan selembaran uang seribuan dari sakunya, sisa uang sakunya tadi di sekolah. “
Sikap yang dilakukan Rahma tersebut mungkin bisa menjadi contoh anak-anak seusianya.Memperlihatkan sikap empati yang juga menumbuhkan sikap filantropi (kedermawanan) terhadap sesama manusia sudah seharusnya ditanamkan oleh orangtua sejak anak masih kecil. Perilaku suka menolong dan berempati terhadap orang lain seperti yang dilakukan Rahma diatas sudah tepat. Karena orang yang mempunyai rasa empati yang tinggi biasanya dermawan, disenangi dalam pergaulan, mudah menyesuaikan diri dan percaya diri. Bahkan terdapat hubungan yang erat antara rasa empati dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta dalam keberhasilan akademiknya. Kenpa demikian? Hal tersebut dikarenakan seorang anak yang memiliki rasa empati yang tinggi akan memiliki kecerdasan secara  emosional. Kecerdasan emosional ini mencakup kecakapan sosial, ketekunan, semangat, kemampua memotivasi diri, serta kemampuan mengendalikan dorongan diri dan hati.
Selain itu seseorang yang cerdas emosional juga memiliki keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional antara lain kemampuan memahami orang lain, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim, bahkan memiliki jiwa kepemimpinan yang baik.
Oleh karena itu, sejak kecil anak-anak  dibiasakan menumbuhkan rasa empati pada lingkungan sekitarnya. Mulai dari dalam keluarga maupun sekolahnya. Lingkungan yang penuh kasih sayang dan aman merupaka prasyarat penting bagi tumbuhnya empati anak. Sebaiknya orangtualah yang memberikan  contoh hal yang baik-baik kepada anak. Misalnya orang tua tiap bulan memberikan sebagian hartanya (zakat) ke anak-anak dhu’afa, jelaskan kenapa anak-anak tersebut diberikan santunan.Agar anak yang nantinya meniru sikap orangtua akan mempunyai alasan yang tepat. Memberikan sesuatu kepada orang lain. Penjelasan tersebut diperlukan agar nantinya sikap filantropi yang ada dalam diri si anak tersebut tidak akan dimanfaatkan orang lain.
Rasa empati pada anak memang harus diasah. Apalagi banyak segi positif jika kita mengajari anak berempati. Mereka tidak akan agresif dan akan senang membantu orang lain. Melatih anak berempati sejak anak usia 2 tahun, saat anak sudah dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Biasanya dimulai dengan hal-hal sederhana, ketika anak sedang makan. Ajari ia untuk menawarkan makanannya ke orang yang ada di sebelahnya. Hal itu menumbuhkan sikap peduli terhadap sesamanya Denganbegitu, anak-anak terbiasa berbagi dan peduli dengan orang lain. Agar anak-anak sejak kecil gemar bersedekah sebagai wujud rasa empati dan filantropinya kepada orang lain.
Agar anak lebih empati dan sayang kepada orang lain, psikolog Lawrence E. Saphiro,Ph.D. menganjurkan tips berikut ini :
1.PUJI PERILAKU EMPATIK
Jika anak melakukan tindakan empatik,katakan bahwa yang ia lakukan
benar,dan nyatakan se-spesifik mungkin.”kamu baik sekali,mau berbagai
popcorn dengan tomi,tadi mama lihat ia tersenyum.kelihatannya ia
senang sekali
2.AJARI ANAK LEBIH PEDULI DAN BERTANGGUNG JAWAB
Buat lah peraturan yang jelas dan konsisten,dan tuntut anak untuk
mematuhi,misal merapikan tempat tidur,memberi makan hewan
peliharaan,dll.
3.AJAK ANAK BERBUAT BAIK
Supaya anak mau berbuat baik,contohkan dulu dengan perbuatan
konkret,misalnya mengajak si buah hati menengok orang sakit,dll.
4.LIBATKAN PADA KEGIATAN SOSIAL
melibatkan anak dalam kegiatan sosial di sekitar juga perlu,misalnya
kerja bakti di lingkungan rumah,menyumbangkan pakaian layak pakai,dll
(sumber : tabloid al falah edisi 256)
Persembahan Terakhir
http://zaffara.multiply.com/journal/item/86

Pada suatu hari di daerah Bandung bagian selatan, seorang ibu tua dengan berjalan terseok-seok, membawa tubuh rapuhnya yang ringkih karena penyakit reumatik yang dideritanya bertahun-tahun.
Seperti hari hari-hari sebelumnya selama belasan tahun berkeliling dari satu perumahan ke perumahan yang lain, kadang-kadang menyusuri  pemukiman kumuh, melewati gang-gang sempitmenjual makanan hasil olahannya sendiri 'Gemblong' namanya makanan daerah terbuat dari ketan hitam yang dibalut gula merah, yang disimpan didalam sebuah baskom kaleng berukuran besar. Dibawanya diatas kepalanya yang beralas kain sambil meneriakkan dagangannya disetiap kali melewati rumah-rumah atau tempat-tempat dimana terdapat ramai orang.


Kulitnya yang berkerut dimakan usia dan menghitam terbakar matahari setiap hari, menunjukkan ketabahannya menjalani taqdir yang dikehendaki Tuhannya.
Hidup sebatangkara di rumah kontrakan sangat sederhana yang ia bayar sendiri dari penghasilannya berjualan gemblong. Anak laki-laki satu-satunya sudah sangat lama tak pernah lagi menjenguknya atau sekedar menanyakan kabarnya sejak meninggalkannya merantau ke Papua bertahun-tahun yang lalu. Sedang seorang anak perempuannya, walau tinggal satu kota tidak dapat menolongnya karena kerasnya kehidupan yang menghimpitnya. Maka tinggallah sang ibu sebatangkara di tengah ganasnya persaingan usaha mencari nafkah untuk kehidupan. Bertahan dengan penyakit yang ia derita karena tak sanggup untuk membayar dokter untuk berobat, walau jarak dari rumahnya ke Puskesmas hanyalah tujuh puluh langkah saja.


Hari itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, matahari tepat diatas ubun-ubunnya. Panas menyengat kulit tangannya yang memegang erat dagangannya dan menempel di pinggangnya. Gemblong jualannya masih tersisa separuhnya. Langkahnya gontai, semakin lama semakin lemah, hingga terduduk di pelataran masjid besar di sebuah perumahan. Dibelinya segelas minuman air mineral yang terasa kesat di lidah tuanya.
Dalam sisa tenaganya, sang ibu tua penjual gemblong itu melangkah perlahan mengambil air wudhlunya, perutnya belumlah terisi nasi sejak pagi, hanya sebuah gorengan dan lontong dari warung langganannya yang sanggup ia beli. Kepalanya sedikit pusing, sesuatu hal yang biasa ia rasakan sejak muda, maka tak ia hiraukan. Tetapi tubuhnya semakin lemah saja, maka sembahyang pun ia lakukan sambil terduduk di sudut belakang masjid.

Tak seorangpun jama'ah masjid yang memperhatikan perempuan itu kecuali seorang bapak tua penjaga masjid yang setiap hari merawat dan menjaga kebersihan masjid *Marbot Masjid*. Ia sudah sangat mengenal perempuan tua itu karena setiap dzuhur ia selalu shalat dan beristirahat di tempat itu.
Bapak marbot tersebut memperhatikan sang ibu tua yang masih terduduk bersandar di dinding masjid. Mukenanya belumlah ia lepaskan, namun saat ibu penjual gemblong itu melihat bapak marbot sedang melihat ke arahnya, dengan lemah ia berusaha melambaikan tangannya meminta supaya dia mendekat. Tak lama setelah bapak marbot itu berada dihadapannya, si ibu berkata kepadanya :

"Bapak yang baik, bolehkah saya meminta tolong kepada Bapak, sekali ini saja?" Bapak penjaga masjid itu terdiam, ia mengira si ibu penjual ini sedang tidak enak badan.

"Baik Ibu, Ibu ada keperluan apa?"
Ibu tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik mukenanya, selembar uang Lima Ribu Rupiah, lalu diserahkannya kepada bapak itu dan berkata :

Saya menitipkan kepada Bapak uang ini untuk Sari di kampung Baru dekat sini, bilang sama dia jualan saya belum habis terjual, saya cuma bisa kasih segini "Tolong ya pak dia butuh uang ini".
Bapak marbot menerima selembar uang Lima Ribu rupiah itu dengan hati bertanya-tanya, namun saat matanya menoleh kepada sang ibu tua itu hendak bertanya lebih lanjut, sang ibu sudah terpejam matanya, nafasnya tiada lagi.

"Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun" sang penjual sederhana tersebut rupanya telah wafat, masih terbungkus pakaian sembahyangnya.

Gemparlah seisi masjid, demikian pula warga perumahan itu. Sang penjual tak memiliki sanak saudara, maka hanya warga perumahan itulah yang mengurus jenazahnya.


Tiga hari setelah wafatnya ibu penjual gemblong itu, bapak marbot mencoba melaksanakan wasiatnya. Ia pergi menuju tempat yang ditunjukkan sang penjual. Seharian ia mencari, bertanya kepada orang-orang dimanakah wanita bernama Sari itu tinggal.
Akhirnya setelah pencarian yang melelahkan, bertemulah ia dengan wanita yang dimaksud.
Maka berceritalah bapak penjaga masjid itu kepada Sari pertemuan terakhirnya dengan ibu penjual gemblong itu di masjid. Meledaklah tangis wanita yang bernama Sari itu. Marbot bertanya dengan hati-hati :

" Maaf nak, apakah ibu itu ibumu ?"
Sari kembali tersedu, namun  ia menggelengkan kepalanya lalu berkata :

" Bukan pak bukan ibu kandung saya, tapi saya menganggap beliau ibu saya sendiri. Kami sama-sama hidup dalam kekurangan, Ibu kasihan kepada saya karena anak saya banyak, suami saya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. setiap hari, ibu itu datang ke tempat saya dan memberi saya uang sepuluh ribu setiap hari, katanya untuk nambahin keperluan anak-anak. waktu saya tolak karena saya tahu ibupun orang miskin, beliau menjawab :

"Nak Sari, biarlah ibu bisa menabung sedikit kebaikan dari rejeki ibu. Ibu kepingin ketemu Tuhan nak. Kalau ibu kasih uang ini buat anak-anakmu, mudah-mudahan Tuhan "seneng" dan mudah-mudahan Tuhan pengen ketemu sama ibu nanti".

Sari tak kuat lagi menahan tangisnya , begitupun sang marbot tua itu. Rupanya, di hari wafatnya, ibu itu masih berusaha menggapai cita-citanya ingin bertemu Tuhan kelak dengan mensedekahkan hartanya yang sangat sedikit dalam perhitungan manusia walau hanya dengan separuh penghasilannya.


Sungguh terpuji hati dan jiwamu yang hina dipandang orang, bahkan aku sendiri pun tak tahu siapa namamu. Namun Tuhan Penciptamu sungguh-sungguh mengenalmu.
Semoga engkau benar-benar sudah bertemu dengan Tuhan kini ibu.

*Terinspirasi dari sosok yang benar-benar ada dan saya kenal saat saya tinggal di Bandung.Kini saya telah berdomisili di kota Bogor sejak kurang lebih dua tahun yang lalu*

Kisah di atas saya ikut sertakan dalam Lomba Berbagi Cerita dengan Kata yang diselenggarakan oleh mbak Ivonie. Semoga dari yang diulas, dapat terpetik hikmah yang bermanfaat. Aamiin.
Maulana Abdul Salam
Kisah Nyata: Memetik Panen dari Kesabaran

Ditengah gemuruhnya kota , ternyata Riyadh menyimpan bayak kisah. Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang
mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak
Allah Azza wa Jalla dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.

Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan , Afrika.

Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini. Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja. Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya. Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.

"Oh kamu tidak tahu?" Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.
"Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?" Jawab saya.

Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar. Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya
keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu. Saya mendengarkan dengan seksama. Ternyata Ammar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu. Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan , jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.

Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat. Do'a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen
teman temannya. Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan. Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan .

Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat... Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir.. Waktu bergeser
lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini.
Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang. Tapi Ammar tetap bertahan dalam kesabaran.

Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik.
Di hutan kita masih bisa
menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.

Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..
Ammar
seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan
keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.

Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus
untuk raganya disini. Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi
untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ammar pun Manusia. Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah
kerjaan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.

Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang
menunggunya. Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk
pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik
Ammar
memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja. Ia pergi ke
sebuah Agen di jalan Olaya
n- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.

Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya. Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih
minggu depan. Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.

Adzan dzuhur bergema.. Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai. Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.

Lalu ia masuk
Mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan, Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap
menit yang ia lalui. Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia diam.

Dilihatnya beberapa mushaf al Qur'an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca
taawudz dan terus membaca al Qur'an hingga adzan Ashar tiba menyapanya. Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba. Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya. Seperti pagi itu, ia
adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota. Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana. Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh. Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.

Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.
Ammar
sudah duduk diruang tunggu dibandara, Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya. Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang
sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.

Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya. Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya
belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya. Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata "Prince memanggilmu". Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.

Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa
Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil.. Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui
bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.

Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince. Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan. Ammarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Prince mengangguk nganguk dan bertanya: "Berapakah gajihmu dalam satu bulan?" Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini. Prince memakluminya. Beliau bertanya lagi: "Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?" Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: "Hanya SR 1.400", jawab Ammar. Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang.
1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Ammar.

Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.
belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah, Prince baik itu menghampiri dan
memeluknya seraya berkata: "Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini"

Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya. Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar
menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak. Semua berubah dalam sekejap! Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar. Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah
Azza wa Jalla.

Nothing Imposible for Allah
Azza wa Jalla,
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah
Azza wa Jalla..

Bumi inipun Milik Allah
Azza wa Jalla,..
Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Allah
Azza wa Jalla.

Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan. Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah
Azza wa Jalla di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah...
Seperti itulah buah dari kesabaran.

"Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya. Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi
kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Allah
Azza wa Jalla ". (NAI)
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو
حَظٍّ عَظِيمٍ

"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai
keberuntungan yang besar".
(Al Fushilat 35)

Allahuakbar!

Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya

Friday, September 16, 2011

Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal


 Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).

Filosofi pahala puasa 6 hari di bulan Syawal setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa setahun, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya:

1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Taala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.” Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan – sebagaimana disebutkan di muka – dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya ‘ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah ‘Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.
Sebaiknya orang yang memiliki utang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan utangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala pada bulan Ramadhan adalah disyariatkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya: ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.

Thursday, September 15, 2011

Kemuliaan Qana'ah (Merasa Cukup Atas Apa yang Ada)


Kemuliaan Qana'ah (Merasa Cukup Atas Apa yang Ada)
Qana’ah artinya merasa cukup atas apa yang ada. Orang yang qana’ah selalu gembira dan mensyukuri segala yang diberikan Allah kepadanya meski orang kebanyakan mungkin menganggapnya kecil sekali.

Firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim [14] : 7).

“Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap”. (HR. Thabarani dari Jabir).

Agar bisa qana’ah, hendaknya kita tidak menganggap harta-benda dan segala yang ada di dunia ini sebagai segalanya.

مَا الدُّنْيَا فِيْ اْلاَخِرَةِ إلاَّ كَمِثْْلِ مَا يَجْعَلُ أحَدُكُمْ إصْبَعَهُ فِيْ الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Dunia ini dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Kita harus yakin bahwa dunia itu fana. Paling kita hidup hanya sekitar 60-70 tahun saja. Jika pun lebih, dijamin kita sudah tidak bisa menikmatinya lagi. Mata mungkin sudah lamur. Pendengaran sudah berkurang. Bisa jadi untuk berjalan pun sulit.

Ada pun akhirat itu lebih kekal dan lebih baik. Akhirat itulah yang jadi tujuan kita sebenarnya.

”Sungguh hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada dunia” [Adh Dhuhaa:4]

”Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” [Al A’laa:17]

Agar tidak tamak/serakah dan bisa qana’ah, hendaknya jadikan kematian/maut sebagai penasehat kita:

“Cukuplah kematian itu sebagai penasihat.” (Hadits Thabrani dan Baihaqi)

Agar bisa qana’ah, kita juga harus hidup sederhana. Jangan boros dan bermewah-mewahan. Kalau boros dan mewah, uang sebanyak apa pun tidak akan cukup.

Kita harus yakin orang yang boros itu saudaranya setan dan dibenci oleh Allah SWT:

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (Mubadzir). Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Al Israa’17:26-27)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قَدْ أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy)

Agar kita bisa qana'ah dan tidak tamak terhadap dunia, hendaknya kita melihat apa yang ada di bawah kita. Orang-orang yang lebih miskin daripada kita. Bukan orang-orang yang lebih kaya daripada kita. Apalagi para milyarder.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Namun dengan sikap qana'ah atau merasa cukup, bukan berarti kita bermalas-malasan melupakan dunia. Karena Islam mengajarkan kita agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Tetap berusaha mencari apa yang telah dianugerahkan kepada kita. Dan hasilnya selain untuk menafkahi keluarga kita juga dipakai untuk infak di jalan Allah dengan bersedekah dan membayar zakat:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qhashas [27] : 77)

Dengan sifat Qana’ah, saat kehilangan harta kita tidak bersedih. Sebaliknya jika kelebihan harta, kita tidak berfoya-foya. Tapi bersedekah dan membayar zakat. Kita gunakan harta kita untuk dakwah dan jihad demi menegakkan Islam.

اَللَّهُمَّ إنِّي أعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَ الْحَزَنِ،وَ الْعَجْزِ وَ الْكَسَلِ،وَالْبُخْلِ وَ الْجُبْنِ،وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَ غَلبَةِالرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari (bahaya) rasa gundah gulana dan kesedihan, (rasa) lemah dan malas, (rasa) bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penguasaan orang lain.”

اللّهمّ قنّعني بما رزقتني و با رك لي فيه ، و ا خلف على كلّ غا ئبة لي بخير
“Ya Allah, jadikanlah aku merasa qona’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, dan berikanlah berkah kepadaku di dalamnya, dan jadikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan lebih baik.” [HR Al Hakim]

Silahkan baca juga tulisan-tulisan Islam lainnya di:

http://media-islam.or.id/category/ihsan

Baca selengkapnya di:
http://media-islam.or.id/2011/09/14/kemuliaan-qanaah-merasa-cukup-atas-apa-yang-ada/