Sunday, April 29, 2012

Convert to Islam in Thai Prison Part 1/4

Enam Bekal Penuntut Ilmu

Meninggalkan Dosa, Maksiat, dan Kedholiman Merupakan Bentuk Rasa Syukur

Meninggalkan Perbuatan Dosa, Maksiat, dan Kedholiman Merupakan Bentuk Rasa Syukur

Nikmat yang telah Alloh Ta`ala limpahkan kepada kita semua sungguh begitu banyak dan melimpah. Oleh karenanya, begitu wajar bila Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang menegaskan dlm surat Ar-Rahman sebuah ayat yang harus senantiasa kita renungi bersama,
{ فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ }
“Maka ni’mat Rabb kalian yg manakah yg kalian berdua dustakan?”
Bahkan jika salah satu dari kita menghitung berbagai nikmat tersebut, maka sungguh tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melakukannya dikarenakan begitu melimpahnya nikmat tersebut. Alloh Ta`ala telah menyebutkan hal ini dalam firmanNya :
[ وإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ} [النحل : 18}
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dan sudah seharusnya bagi orang yang berakal untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yg berlimpah ini dengan penuh rasa syukur. Namun ironisnya, hanya sedikit dari para hamba yg mau bersyukur. Alloh Ta`ala bersabda :
{وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ}
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yg mau bersyukur.” (QS. Saba : 34)
Kebanyakan dari kita justru senantiasa mengkufuri ni’mat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau bahkan mempergunakan ni’mat tersebut untuk bermaksiat, berbuat dosa, dan melakukan kedholiman kepada Ar-Rahman.
Setidaknya, demikianlah keadaan anak manusia yang tidak pernah luput dari perbuatan dosa, maksiat, serta kedholiman, baik secara disengaja dengan memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yg selalu menggoda, maupun dengan tidak disengaja. Karena pada hakikatnya, setiap perbuatan dosa, maksiat, serta kedholiman yang kita kerjakan akan membawa pengaruh yang buruk dan negatif bagi hati seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak. Rosululloh pernah bersabda :
(( الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ))
“Kedholiman adalah kegelapan pada hari kiamat” (Muttafaqun `alaihi dari Ibnu `Umar)
Bersambung…..

Haramnya Sebuah Dosa, Maksiat, dan Kedholiman

 

Haramnya Sebuah Dosa, Maksiat, dan Kedholiman

Wahai saudaraku sekalian,
Sesungguhnya Allah Yang Maha Adil, Allah Yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba Nya, telah mengharamkan bagi diriNya sendiri untuk berbuat kedhaliman. Tidak hanya itu, Alloh Ta`ala juga telah mengharamkannya bagi hamba-hambaNya untuk berbuat kedzaliman kepada sesamanya, baik kedholiman yang menyangkut harta, kehormatan, maupun menyangkut darah dan nyawa. Alloh telah memanggil para hambaNya untuk menjauhi kedholiman didalam sebuah hadits Qudsi :
:عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ فِيمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى, وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
Dari Abu Dzar , dari Rosululloh sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Alloh Ta`la : ”Wahai para hambaku sesungguhnya telah kuharamkan kedholiman bagi diriku (kepada hamba-hambaKu), dan aku telah menjadikannya diantara kalian sebagai sebuah keharaman, maka janganlah kallian saling mendholimi….”. (HR. Muslim)
Tidak hanya itu, bahkan Alloh mengancam orang-orang yang melakukan kezhaliman dengan sangsi yang berat didunia dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Allah berfirman:
{ وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ, إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ }
“Dan demikianlah adzab Tuhanmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dhalim, sesungguhnya adzabNya itu sangat pedih dan keras.” (QS. Huud: 102)
Dalam ayat lain :
{ وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ, إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ }
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwasannya Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang berbuat zhalim, sesungguhnya Allah menanggguhkan mereka sampai suatu hari yang pada waktu itu mata terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)

Antara Dosa, Maksiat, dan Kedholiman.

Setiap bentuk kemaksiatan pada hakikatnya adalah sebuah kedholiman. Karena makna kalimat dholim itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, diantara oleh Al-Qodhi `Iyadh adalah :
ما وضع الشيء في غير موضعه
“Yaitu segala sesuatu ditempatkan bukan pada tempatnya” (مشارق الأنوار على صحاح الآثار).
Bahwasanya seseorang dikatakan bermaksiat ketika menempatkan sesuatu bukan pada tempat yang semestinya. Sebagai contoh sederhana, Mulut yang seharusnya untuk berdzikir dan membaca Al-Quran malah justru dipakai untuk mencela, mengumpat, dan mengadu domba sesama muslim. Harta yang kita miliki yang seharusnya disyukuri untuk semakin mendekatkan diri kita kepadaNya malah justru dipakai untuk hal-hal yang mendatangkan kemurkaanNya.
Jadi, setiap dari Kemaksiatan dan Kedholiman pada hakikatnya adalah perbuatan dosa, dan diantara ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat.
Bersambung…..

Tawbah: treading the path of paradise

http://www.yasminmogahed.com
Tawbah: treading the path of paradise 
 
The man knew he was nearing his death. Because he had committed innumerable sins, he was terrified to meet his Lord. Upon his death, the man said to his children: “If my Lord takes possession of me, He will punish me in a manner in which He has punished no one else.” In his fear, the man asked his children to burn his body after his death and scatter his remains.
And so after his death, the man was cremated. But then God said to the earth: “Produce what you have taken.” When the man came before God, God said to him: “What induced you to do what you did?” The man replied, “It was out of fear of you, oh my Lord.” And because of that, he was forgiven [from Hadith Qudsi 32, Bukhari & Muslim].
In this man’s overwhelming fear of God, he had forgotten God’s mercy. Consider a person so sinful that he might receive the greatest punishment ever given. But imagine such a sinner being forgiven still, by no merit of his own—but only by the mercy of his creator. That creator, when describing Himself in the Hadith Qudsi, says: “My mercy prevails over my wrath” [Bukhari & Muslim].
This mercy—which is infinite—defines one of the most emphasized attributes of God. And every moment is a priceless opportunity to come back to Allah, and start over. This process of tawbah, turning back to Allah and seeking His forgiveness, is one of the most vital acts of worship. In fact, it is this act alone, which distinguished Prophet Adam from Iblees (Satan). And it is by this act alone, that some will enter Paradise.
See, we all make mistakes. Prophet Adam made a mistake. And so did Iblees. Prophet Adam worshiped Allah—but so did Iblees. The difference between the two was that when Adam made his mistake, he realized his desperate need for Allah’s forgiveness, while Iblees showed arrogance and did not repent.
Prophet Muhammad said: “Every descendant of Adam is oft to err, and the best of those who err are those who are oft to repent” [Al-Tirmidhi (2499) & Ibn Mijah (4251)]. And so, Iblees’s mistake wasn’t that he disobeyed Allah—Adam also disobeyed Allah. Iblees’s mistake was that he disobeyed Allah and then refused to repent for it. Not only did he refuse to make tawbah, Iblees even blamed Allah for his own mistake: “(Iblees) said: “O my Lord! Because Thou hast put me in the wrong, I will make (wrong) fair-seeming to them on the earth, and I will put them all in the wrong” (Quran 15:39).
In contrast to this, by turning to Allah and realizing our need for His forgiveness and mercy, we actually become more beloved to Him. It was actually after he had made a mistake, realized his need for Allah, and repented, that Adam was sent to earth as a prophet.
In fact Allah, in His infinite mercy, does not just accept our repentance—He loves to forgive. The Prophet says: “If you were not to commit sins, Allah would remove you and replace you with a people who would commit sins and then seek Allah’s forgiveness, so Allah could forgive them” [Sahih Muslim (2749)].
And when we do repent to Allah, He does not just erase our evil deeds, he even transforms them into good deeds: Allah says, “Except those who repent and believe and work righteous deeds, for them Allah will change their evil deeds to good deeds, and Allah is Oft-Forgiving, Most Merciful” (Quran 25: 70).
Even more, that forgiveness of Allah has no limit and no bounds. Allah says in the hadith Qudsi: “Oh son of Adam, were your sins to reach the clouds of the sky and were you then to ask forgiveness of Me, I would forgive you” [Al-Tirmithi].
We all will sin. That is a certainty. But the choice is ours. Will we follow the footsteps of the one who repented and became a prophet, or will we follow the one who refused…and became forever cursed?


Saturday, April 28, 2012



Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,  “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).
Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah (semangat yang kuat dalam belajar).
Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.
Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.
Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.
Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.
Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.
Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”
Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.
Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.
Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.
Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ
“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah. Wabillahit taufiq.

Referensi:
‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

@ KSU, Riyadh, KSA, 4 Jumadats Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Friday, April 27, 2012

Dosa(mu) Adalah Alasan Mengapa Harus Berdakwah

14/3/2012 | 21 Rabbi al-Thanni 1433 H | Hits: 4.581
Oleh: Ikhwan Rabbani
Kirim Print
dakwatuna.com – Begitu banyak generasi muda Islam yang -seharusnya menjadi penggerak dakwah menuju kejayaan Islam- menjadikan dosa-dosa yang mereka lakukan sebagai alasan untuk meninggalkan lapangan dakwah. Padahal kemunduran mereka sama sekali tidak membuat keadaan dakwah ini menjadi lebih baik, tapi justru secara tidak langsung mereka telah menjadi “musuh” yang menghambat pergerakan dakwah dengan sikap apatis mereka.
Fenomena ini adalah sebuah kesalahan yang sangat diwaspadai. Jangan sampai semangat untuk beramar ma’ruf nahi munkar menjadi pudar hanya karena dosa dan kesalahan di masa lalu. Bukankah Allah SWT telah berfirman,
“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS. An-Nur: 21)
Maka, jangan sampai kita berhenti beramar ma’ruf nahi munkar dengan alasan kita adalah seorang pendosa. Abul Faraj Ibnul Juazi mengatakan, “Sungguh, Iblis telah berhasil membujuk rayu sebagian ahli ibadah. Dia melihat kemungkaran, tetapi tidak mengingkarinya dan tidak mencegahnya. Lalu orang tadi berkata, ‘Yang mencegah kemungkaran dan menyuruh kebaikan adalah orang yang sudah bagus dan baik. Sementara saya belum baik betul, bagaimana mungkin saya menyuruh orang lain?’ Hal ini adalah sebuah kesalahan, karena dia seharusnya (tetap) mencegah kemungkaran dan menyuruh kepada yang ma’ruf.”
Seorang lelaki pernah berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Apakah seseorang itu tetap bertahan terus sampai dia sempurna, kemudian baru mendakwahi manusia?”
Imam Ahmad menjawab, “Siapakah orang yang sempurna? Tetaplah berdakwah kepada manusia.”
Begitu pun dengan yang diwasiatkan Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah kepada Abul Qasim Al-Maghribi, “Bahwa seorang hamba pasti melakukan kesalahan dan dosa adalah sebuah kemestian yang ada pada seorang hamba. Namun dia harus meminta ampun kepada Allah, sehingga seseorang tidak beralasan (untuk tidak melakukan kebaikan), hanya karena ia telah berdosa”.
DR. A’idh al-Qarni, seorang ulama yang sangat besar perhatiannya terhadap dakwah dan generasi muda Islam saja pernah menemui seorang pelaku dosa dan memintanya agar aktif dalam lapangan dakwah pada Allah, agar dia ikut andil berceramah, ikut serta dalam beramar ma’ruf nahi munkar atau pengajian. Agar ia juga aktif memberikan kata-kata yang sejuk dan baik serta ikut dalam menasihati saudara-saudaranya. Beliau melakukan hal ini dengan sebuah alasan yang sangat baik, “karena setiap orang -walaupun pendosa sekalipun-, pantas dan berhak untuk berdakwah dan berceramah kepada manusia”. Tentunya sesuai dengan kapasitasnya.
Pertanyaannya, bukankah itu sama halnya dengan munafik?
Jawabannya, TIDAK! Mereka yang tetap beramar ma’ruf nahi munkar -walaupun mereka memiliki “kekurangan”- adalah mereka yang -Insya Allah- akan dibersihkan dan disucikan dari dosa yang telah mereka kerjakan. Bukankah Rasulullah saw. Telah bersabda -hadits ke-18 dalam Hadits Arba’in- :
“Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlaq yang baik”
Bukankah dakwah -menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan- merupakan sebuah kebaikan yang dapat menghapus dosa? Bukankah orang yang istiqamah dalam berdakwah akan lebih malu bermaksiat kepada Allah sehingga hidupnya senantiasa terarah pada jalan yang diridhai-Nya?
Ya, setiap kita pernah berbuat kesalahan… Tapi sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat. Dan dakwah tentunya dapat menjadi sarana taubat terhadap dosa dan keburukan yang telah dikerjakan. Terakhir, sebelum mengakhiri catatan singkat ini marilah sama-sama kita renungkan sabda Rasulullah SAW dalam Shahih Muslim
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau sekiranya kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kamu. Kemudian Allah akan mendatangkan kaum selain kamu. Mereka berbuat dosa, dan mereka meminta ampun kepada Allah, lalu Allah mengampuni mereka.” (H.R. Muslim)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19375/dosamu-adalah-alasan-mengapa-harus-berdakwah/#ixzz1tJSgaHNZ

Sekarang dan Masa Depan

Segala puji bagi Allah, Yang merajai pada hari pembalasan. Salawat dan keselamatan semoga selalu terlimpah kepada Rasul akhir zaman, yang mengajak meniti jalan yang lurus menuju negeri keabadian yang dengan penuh kenikmatan. Amma ba’du.
Seringkali kita tertipu oleh pandangan sekilas. Sesuatu -yang belum jelas- menjadi tergambar indah dan menyenangkan dengan sekilas pandangan, padahal hanya sekilas saja. Namun, kalau diteliti dan dicermati dampak-dampaknya serta ujung-ujungnya, maka kebalikannya justru yang dijumpai; kesedihan, penyesalan dan penderitaan berkepanjangan. Subhanallah!

Oleh sebab itu, saudaraku… kehidupan dunia dengan seabrek tipuan dan sejuta kepalsuan ini tidak selayaknya melupakan seorang muslim akan hakekat yang sebenarnya dari hidup yang dijalaninya. Kita yakini bersama, hidup kita di alam dunia ini pasti berakhir, tidak kekal selamanya. Setelah itu, kita akan memasuki alam akherat… Ya, alam pembalasan pahala atau penjatuhan hukuman! Maka, kita harus cerdik dan sabar. Cerdik dalam menyikapi segala macam kepalsuan tersebut agar kita tidak tertipu olehnya. Dan sabar dalam menahan godaan yang menggiurkan dari para penebar kebatilan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kehidupan dunia tidak lain adalah kesenangan yang palsu.” (QS. al-Hadid: 20). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. al-Jumu’ah: 8). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja, sementara Allah belum mengetahui (membuktikan) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan mengetahui siapakah orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali Imran: 142)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keberuntungan paling besar di dunia ini adalah kamu menyibukkan dirimu di sepanjang waktu dengan perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di hari akherat. Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi mendapatkan sesuatu yang mengandung kesenangan hanya sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakekat hidup ini akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala, apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 34)
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya- tiada bahagia tanpa takwa kepada-Nya. Sementara, takwa itu mencakup tiga tingkatan:
  1. Menjaga hati dan anggota tubuh dari perbuatan dosa dan keharaman. Apabila seseorang  melakukan hal ini hatinya akan tetap hidup.
  2. Menjaga diri dari perkara-perkara yang makruh/dibenci. Apabila seseorang melakukan hal ini hatinya akan sehat dan kuat.
  3. Menjaga diri dari berlebih-lebihan -dalam perkara mubah- dan segala urusan yang tidak penting. Apabila seseorang melakukan hal ini hatinya akan diliputi dengan kegembiraan dan sejuk dalam menjalani ketaatan (lihat al-Fawa’id, hal. 34). Allahul musta’aan.
Diambil dari : http://abumushlih.com/sekarang-dan-masa-depan.html/
Oleh: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, staf pengajar Ma’had Al-Ilmi

Dzikrullah: Hiburan Yang Hakiki



Waktu di tanah air saya dan suami berjalan melewati sebuah cafe. Hingar bingar suara musik dan lagu dari cafe tersebut mengundang mata kami melihat ke arahnya. Suami saya tersenyum dan komentar,"Rasanya aneh ya...sudah lama kita gak dengar live music kayak gitu." Ya, tidak terasa sudah 4 tahun kami tinggal di negeri yang minim hiburan ini. Sebaliknya subhanallah banyak sekali kesempatan menggali ilmu agama, terutama Qur'an di negeri ini. Tinggal kita mau memanfaatkannya atau menyia-nyiakan kesempatan tersebut hingga merugi...

Saya amati kehidupan orang-orang di negeri kami tercinta, penuh kesibukan dengan segala problematika kehidupan. Pagi-pagi buta tanpa sempat salat subuh berjamaah di masjid, bapak-bapaknya sudah berangkat ke tempat kerja. Dalam perjalanan, jalanan macet dan bikin stress.Putar radio atau menonton TV dalam mobil, terkadang yang didapat hanyalah perbincangan membosankan, omong kosong yang itu-itu saja bahkan bisa jadi menambah beban pikiran. Sampai tempat kerja, sibuk, stress lagi dan selepas kerja maunya melepas penat di kepala dengan kumpul-kumpul di suatu tempat, makan, minum, mendengar musik atau mungkin karaokean.

Ada lagi yang melepaskan penat ke tempat-tempat hiburan, tempat maksiyat.

Mencari hiburan? Terhiburkah mereka? Fenomenanya, hiburan tersebut membawa mudarat bukan manfaat. Yang pasti uang terkuras, dosa bertambah, hidup tidak tenang dan bisa makin stress..
Ada suatu hiburan yang murah dan subhanallah menambah pahala yaitu mengingat Allah...karena dengan mengingat Allah, hati akan merasa tenang.
Dzikir adalah perintah Allah. "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya." (QS. Al Ahzab:41).

Bukankah Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain untuk ibadah kepada Allah saja sebagaimana firman Allah:
“Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Ad Dzariyyat: 56)
Ibadah adalah menyembah Allah. Bekerja adalah bagian dari ibadah kalau pekerjaannya halal dan dapat uang halal untuk menafkahi istri, anak, keluarga dan kaum yang membutuhkan namun kalau dalam bekerja melupakan salat, meninggalkan salat wajib berjamaah di masjid lalu dalam bekerja berbuat kebohongan, kecurangan, penipuan, lalu uang yang didapat dipergunakan untuk membayar wanita yang tidak halal yang bersedia berzina dengannya. Ini kebalikan dari ibadah atau menyembah Allah yaitu syirik, menyekutukan Allah dengan thogut, setan-setan manusia yang beraneka ragam, harta, tahta wanita dsb. Kesyirikan ini sudah dianggap biasa oleh manusia zaman sekarang padahal merupakan dosa yang paling besar. Manusia-manusia yang menyembah thogut, setan-setannya...bukan menyembah Allah. Karena yang dilakukan jelas-jelas bertentangan dengan aturan-aturan Allah (Al Qur'an dan As sunnah).

Saudaraku seiman...ingatlah Allah dalam setiap langkah dan gerak kita...dzikir lah...mulailah dengan mengambil wudhu sekarang, dirikanlah salat sunnah, bertaubatlah, berdoalah, mohonlah ampunan Allah...menangislah, tangisilah dosa, kendalikan banyak tertawa. Bersedekahlah pada orang miskin, anak yatim dan kaum dhuafa...Ingatlah Allah, masukilah rumah ibadah (masjid) salatlah berjamaah, bersama orang-orang yang sholih, tinggalkan kawan-kawan yang mengajak pada setan-setannya (thogut) hadirilah kajian Qur'an, bacalah Qur'an, dengarkanlah murotal bacalah buku-buku Islam, buku-buku yang baik. Merenunglah, muhasabah diri...larutkan diri dalam kesunyian malam, dirikan salat qiyamul lail, kendalikan nafsu dengan mengerjakan puasa sunnah supaya kau selamat saudaraku, ingatlah ada perintah Allah bagi saudariku seiman untuk menutup aurat, sesungguhnya itu baik bagimu saudariku insyaAllah kau kan terlepas dari hiburan haram karena malu dengan jilbabmu sendiri selain yang utama malu dan takut kepada Allah...
Rasakanlah...inilah hiburan batin yang hakiki, saudaraku..saudariku...Bukan hiburan haram yang dulu.

Dengan mengingat Allah, Allah pun mengingat kita.
"Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku pun ingat kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (QS Al Baqoroh:152)
Allah bersama orang-orang yang berdzikir kepadaNya.
"Aku bersama sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyebut-Ku. Jika dia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku pun menyebutnya dalam Diri-Ku. Dan apabila dia menyebut-Ku di hadapan orang banyak, Aku menyebutnya di hadapan orang-orang yang lebih baik dari mereka."
nah, jangan malu apalagi takut menujukkan keingatan kita pada Allah, bisa jadi merupakan hidayah bagi teman kita untuk mengingat Allah juga.
Ingatlah janji Allah kepada orang yang berdzikir:
"Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, allah telah menyediakan mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al-Ahzab:35).

Ummu Muhammad, Dhahran, 27 April 2012

Thursday, April 26, 2012

Mengapa Kita Membutuhkan Hidayah?


Seberapa besarkah kebutuhan kita kepada hidayah? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan setidaknya ada 10 alasan yang melatarbelakangi doa yang senantiasa kita panjatkan dalam sholat kita. Yaitu doa meminta hidayah. Beliau memaparkan:
Barangsiapa yang mencermati segala kerusakan yang menimpa alam semesta secara umum maupun khusus, niscaya dia akan menemukan bahwa itu semua muncul dari dua sumber utama ini (yaitu akibat kelalaian dan memperturutkan hawa nafsu, pent).

Adapun kelalaian, maka ia akan menghalangi seorang hamba dari mengetahui kebenaran sehingga membuatnya tergolong orang yang sesat. Adapun memperturutkan hawa nafsu akan memalingkannya dari mengikuti kebenaran sehingga membuatnya termasuk golongan orang yang dimurkai. Sedangkan orang yang dikaruniai nikmat itu adalah orang-orang yang diberi anugerah ilmu tentang kebenaran dan ketundukan untuk melaksanakannya serta mendahulukan hal itu di atas selainnya. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas jalan keselamatan. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang berada di atas jalan kehancuran.

Oleh sebab itulah Allah memerintahkan kita untuk mengucapkan setiap sehari semalam berkali-kali, “Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa lad dhaalliin.” Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 5-7)

Karena sesungguhnya seorang hamba sangat-sangat membutuhkan pengetahuan terhadap apa saja yang bermanfaat baginya dalam kehidupan dunia dan akheratnya. Sebagaimana dia juga sangat-sangat membutuhkan keinginan yang kuat sehingga bisa mendahulukan urusan yang bermanfaat baginya itu serta sebisa mungkin menjauhi segala hal yang membahayakan dirinya.

Dengan terkumpulnya kedua perkara ini maka sungguh dia telah mendapat petunjuk menuju jalan yang lurus itu. Apabila dia kehilangan ilmu tentangnya maka dia akan menempuh jalan orang-orang yang sesat. Dan apabila dia kehilangan tekad dan keinginan untuk mengikutinya maka dia telah menempuh jalan orang-orang yang dimurkai. Dengan begitu bisa diketahui betapa agung kedudukan doa ini dan betapa besar kebutuhan hamba terhadapnya, karena kebahagiaan hidup di dunia dan akherat semuanya tergantung pada hal ini.
Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah dalam setiap waktu dan tarikan nafas, dalam segala urusan yang dia lakukan atau pun dia tinggalkan, karena sesungguhnya dia berada di antara berbagai keadaan yang dia pasti diliputi olehnya:

Pertama, hal-hal yang telah dia lakukan akan tetapi tidak mengikuti petunjuk akibat kebodohannya, maka dalam keadaan ini dia butuh untuk mencari hidayah kepada kebenaran dalam hal itu.

Kedua, dia sudah mengetahui hidayah dalam masalah itu, akan tetapi dia sengaja melanggarnya, maka dalam keadaan ini dia butuh untuk bertaubat dari kesalahannya.

Ketiga, hal-hal yang memang tidak diketahuinya baik ilmu maupun amalan yang benar padanya, sehingga dia pun kehilangan hidayah untuk mengilmui sekaligus mengamalkannya.

Keempat, hal-hal yang memang dia telah memperoleh sebagian hidayah dalam urusan itu akan tetapi belum sempurna, maka dia butuh untuk mendapatkan hidayah yang sempurna padanya.

Kelima, hal-hal yang dia telah mendapatkan hidayah terhadap pokok kebenaran dalam hal itu secara global saja, maka dia pun masih membutuhkan hidayah terhadap rincian-rinciannya.

Keenam, dia telah mendapatkan hidayah ‘menuju’ jalan yang lurus itu, maka dia pun masih membutuhkan hidayah untuk bisa berjalan ‘di atasnya’. Karena hidayah ‘menuju’ jalan itu lain, sedangkan hidayah ‘di atas’ jalan itu sesuatu yang lain lagi. Bukankah anda bisa melihat bahwasanya  seseorang bisa jadi telah mengetahui bahwa jalan menuju negeri anu adalah jalan ini dan itu. Meskipun demikian dia tidak sanggup untuk menempuhnya. Karena untuk bisa menempuh jalan itu masih memerlukan hidayah yang lebih khusus lagi untuk bisa berjalan di atasnya. Seperti misalnya dengan melakukan perjalanan di waktu ini bukan di waktu yang itu, kemudian mengambil air di jarak sekian dengan jumlah sekian, lalu singgah di tempat ini bukan di tempat yang itu. Inilah hidayah yang dibutuhkan untuk bisa menempuh jalan itu yang terkadang diabaikan oleh orang yang sudah mengetahui jalan tersebut, sehingga dia pun gagal dan tidak berhasil mencapai tujuan.

Ketujuh, dia juga membutuhkan hidayah untuk hal-hal yang terkait dengan masa depannya sebagaimana yang dia dapatkan pada waktu yang telah berlalu.

Kedelapan, perkara-perkara yang dia tidak bisa meyakini apa yang benar dan batil dalam hal itu, oleh sebab itu dia masih membutuhkan hidayah kepada keyakinan yang benar di dalamnya.

Kesembilan, perkara-perkara yang telah diyakini olehnya bahwa dia berada di atas petunjuk akan tetapi sebenarnya dia berada di atas kesesatan dalam keadaan tidak menyadarinya. Dengan demikian dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk bisa meninggalkan keyakinan tersebut.

Kesepuluh, hal-hal yang telah dia lakukan sebagaimana hidayah yang sebenarnya, maka dia pun masih membutuhkan hidayah untuk bisa berbagi hidayah itu kepada selainnya, agar bisa membimbing dan mengarahkannya. Karena apabila dia melalaikan hal itu niscaya dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan kelalaiannya tadi. Sesungguhnya balasan itu serupa dengan jenis amalan. Semakin dia berjuang dalam memberikan hidayah dan ilmu kepada orang lain maka semakin besar perhatian Allah dalam memberikan hidayah dan ilmu kepada dirinya, sehingga dia akan bisa menjadi orang yang mendapat hidayah dan menyebarkannya.

Hal itu sebagaimana dalam doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan selainnya, “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang yang memberikan hidayah dan terus diberi hidayah, tidak sesat dan tidak pula menyesatkan. Mendatangkan keselamatan kepada wali-wali-Mu dan memerangi musuh-musuh-Mu. Dengan cinta-Mu Kami mencintai orang yang mencintai-Mu. Dengan permusuhan-Mu kami akan memusuhi siapa saja yang menentang-Mu.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat sanadnya dilemahkan Syaikh al-Albani, tetapi sisi pendalilan dari hadits ini didukung oleh hadits yang lain)

Diterjemahkan secara bebas dari:
Risalah Ibnul Qayyim ila Ahadi Ikhwanihi (hal. 5-10)
Penerbit Dar ‘Alam al-Fawa’id
tahqiq Abdullah bin Muhammad al-Mudaifir
isyraf Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Mishary Rashed Alafasy- Surat al Takwir - The Overthrowing

Kedamaian Hati Dalam Iman

Hidup tak selalunya menawarkan kemulusan jalan takdir yang membuat kita selalu merasa bahagia dan bahagia. Ada kalanya Allah mencobakan pada diri kita, untuk bertemu dengan episode fitnah, kebencian dan efek samping dari rasa iri pada diri orang lain yang tak menyukai kita. Hal itu kadang mau tak mau memaksa diri untuk harus melaluinya, walau dengan bagaimana rasanya hati dan keadaan logika. Dan bagaimanakah sikap terbaik bagi kita saat harus harus menjadi pelakon dari semua itu?

Sejarah telah mengukir sebuah kisah mulia, dari pribadi yang dirindukan oleh surga, Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam, yang dari beliau kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dari sebaik- baiknya panutan. Tak terkecuali tentang keanggunan dan kedamaian beliau dalam menghadapi fitnah, kebencian, permusuhan, dan hal- hal negatif lain yang digariskan Allah untuk menjadi cobaan dalam hidupNya.

Dan kemuliaan itu terwujud dalam indahnya akhlak beliau yang seakan menjadi mutiara dalam hati orang beriman. Mutiara tentang ketinggian budi, yang membedakannya dengan sebuah batu. Mutiara yang bisa tetap muncul dan bersinar, walaupun dia dipaksa untuk ditenggelamkan dalam lumpur. Dan jadilah nama beliau terabadikan hingga akhir jaman, sebagai seorang pribadi yang identik dengan mulia, sesosok manusia yang disegani lawan dan di hormati kawan, dan bahkan sangat dirindukan surga.

Semua adalah karena kesholehan beliau, serta akses kuat hatiNya yang selalu bergantung penuh kepada yang Maha Hidup, Dan yang maha melihat, Allah Subhanahu Wataala. Tiada sama sekali kekhawatiran akan predikat penyair gila, tukang sihir, dan atau pendusta, yang telah disematkan kepada beliau dari orang- orang kafir. Yang beliau Lakukan hanyalah percaya, bahwa jika cobaan itu hadir, maka semua adalah bagian dari rencana Allah, seperti yang telah Allah firmankan dalam Al Quran yang mulia,

"Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman." (QS. At Taubah: 51).

Dan begitulah, ketika hati telah berserah kepada sang Allah, maka akhirnya semuapun kemudian terasa begitu tenang, dan mengalir seperti dalamnya aliran sungai, yang sama sekali tidak terlihat beriak.

Maka sunggguh, seluruh rentetan polusi fitnah yang mampir di telinga, akan dengan mudah pergi, sebelum mereka meninggalkan bekas jejak mereka di hati orang- orang yang selalu Mengingat kebesaran dan Maha sempurnanya Allah Subhanahu Wataala. Dan ketika mereka berbuat salah dan menyakiti sesama, sebelum orang lain menghujat dan menjelaskan tentang kesalahannya, maka hati nuraninya sendiri yang akan mengingatkan dan menghukumnya. Maka dari itu, dengan mudahnya pula, meluncur kata maaf seraya tekad kuat untuk memperbaiki kesalahannya. Namun ketika mereka tidak mendholimi seseorang, betapapun niat jahat orang lain terasa sangat memojokkan dan mengkambing hitamkannya, maka dengan tenang dan penuh tawakkal dia akan melewati ujian itu, bahkan seraya mendoakan tetap tentang yang terbaik bagi orang yang telah menjahatinya.

Dan semua hanyalah masalah waktu. Waktu yang akan menguji keseriusan seseorang tentang seberapa benar yang telah dikatakannya benar. Dan waktu pula yang akan menjawab, tentang kamuflase kebenaran yang memang pada awalnya ditunjukkan sebagai benar, apakah tetap benar, dan atau berakhir dengan sebaliknya. Akhirnya, waktu pula yang akan memberi kesimpulan akhir tentang suatu pendapat kita

Lalu, mengapa kita masih harus bersedih dengan sebuah fitnah atau perkiraan manusia yang hanya berdasar pada referensi pikiran dan indra mereka yang sangat terbatas. Dan sudahkah kita mendahulukan ridho Allah dan pendapatNya, atas sesuatu yang kita perbuat atau kita ucapkan? Maka sudah saatnya jujur pada nurani kita sendiri.

(Syahidah/ voa-islam.com)

Tuesday, April 24, 2012

Doa Ketika mendapat Musibah


Jika kita menghitung nikmat Allah, rasanya kita tak akan pernah sanggup. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surah Ibrahim:34 dan An Nahl:18 "Seandainya kalian berusaha untuk menghitung nikmat Allah kalian tidak akan mampu menghitungnya." Nikmat Allah yang terhingga, diantaranya nikmat hidayah, kesehatan, air, orangtua, pasangan hidup, anak-anak, saudara, teman dll....tak akan sebanding dengan musibah yang Allah berikan kalau kita mau berpikir dan bersyukur. Alhamdulillah, dengan segala nikmat Allah ini kita seharusnya bertanya pada diri sendiri, "nikmat Allah manalagi yang kamu dustakan?"

Bahkan atas segala musibah sepatutnya kita berkata, "Alhamdulillah ala kulli hal" yang artinya segala puji bagi Allah atas segala hal. Baik atau buruk yang kita hadapi sebetulnya yang terbaik dari Allah buat kita. Saat menghadapi musibah tersebut kita sedih tapi bersabarlah, pasti akan ada kebaikan dibalik musibah tersebut. Jika kita diberikan nikmat terus, kita menjadi lalai dan bisa lupa pada Yang Maha Kuasa. Sekali-sekali musibah menyadarkan kita untuk kembali mendekatkan diri pada Allah Ta'ala. Semoga setelah itu lebih dekat, makin dekat hingga Allah senantiasa menyelamatkan kita dari azab dunia, azab kubur dan azab neraka...Subhanallah dengan mendekat pada Allah kita akan menyadari bahwa Allah lah kekasih kita yang sebenarnya, Dia lah prioritas hidup kita...segala yang kita lakukan di dunia ini untuk Allah, karena mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan berharap keridhoan serta balasan dari Allah semata. Selain Allah bukanlah segalanya, mereka hanyalah sarana bagi kita kita beribadah, beramal sesuai kehendak Allah, untuk, karena dan mengharap ridho Allah. Yang sesuai kehendak Allah tentu saja sesuai Al Qur'an dan As sunnah, dua warisan Rasulullah saw yang jika kita tidak meninggalkannya insyaAllah kita tidak akan sesat, bi idznillah...

Maka disaat musibah datang menghimpit, Rasulullah saw mengajarkan sahabatnya, Abu Salamah, sebuah doa dan doa tersebut diajarkan lagi oleh Abu Salamah pada ummu Salamah. Hingga ketika Abu Salamah meninggalkan ummu Salamah selama-lamanya, ummu Salamah mengucapkan doa tersebut : "Inna lillahi wa inna ilayhi rooji'uun, Allahumma 'jurnii fii musibatii wakhlufnii khairan minhaa"
"Sesungguhnya kita ini milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali. Ya Allah berikanlah pahala kepadaku dalam musibah ini, dan berilah ganti yang lebih baik darinya."
Allah Ta'ala pun memberi ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah yaitu Rasulullah saw sekalipun ummu Salamah sudah merasa Abu Salamah adalah suami yang terbaik baginya.

Bukan hanya kehilangan orang yang dicintai, kehilangan barang yang dicintai pun kita bisa membaca doa tersebut, insyaAllah ada ganti yang lebih baik asalkan kita ikhlas kehilangan semua itu...semua ada batasnya, semua akan kembali kepada Allah Ta'ala karena milik Allah Ta'ala semata, Allah Ta'ala yang memberi, mengambil bahkan mempergilirkan dengan yang lain jika Allah Ta'ala menghendaki...kita percayai takdir tersebut merupakan ketetapan Allah Ta'ala. Dengan ikhtiar sesuai tuntunan Allah ditambah doa, atas kehendak Allah Ta'ala jua akan ada ganti yang lebih baik...

Ummu Muhammad, Dhahran, 24 April 2012