Sunday, July 15, 2012
Hallo Sahabat semua,…
Semoga kehangatan selalu menyertai kebersamaan kita.
Beberapa hari yang lalu, pagi-pagi saya mendapatkan sms dari salah seorang penjahit saya. “Maaf Mi,… saya tidak bisa datang hari ini, Mamah sudah susah, seluruh keluarga sudah kumpul.”
Saya hanya sanggup mengiyakan, sembari berkirim doa.
Jam 10-an pagi, sampai lagi sms, “Mi, mamah baru saja meninggal.” Innalillahi wa innailaihi raajiuun. Maka saya pun berkemas, menuntaskan pekerjaan. Namun ternyata saya masih ada jadwal ngeles anak-anak jam dua siang. Waduh,… sepertinya ba’da Ashar saya baru bisa ta’ziah.
Dan tenyata memang jam empat sore saya baru bisa sampai ke rumah duka. Saya lihat, jenazah masih terbujur di ruang tengah, tertutup kain batik. Tidak begitu jelas, sudah terkafani atau belum.
“Kapan berangkat ke makam, Bu?” bisik saya pada salah seorang anaknya.
“Ini belum dimandikan, Mi… tukang memandikannya masih di Padalarang.” Jawabnya prihatin.
Gubraks deh …
Meninggal dari jam sepuluh pagi, jam empat sore belum di sucikan? Duuh… kasihan banget. Maka tanpa banyak kata, saya ajak anak-anak almarhumah utuk memandikan jenazah ibunya. Kain kafan saya potong srat sret, digelar di ruang tengah dan bersama kami tuntaskan kewajiban mensucikan jenazah tersebut. Walau terus terang, gemes banget saya pada keluarganya, karena mereka kebanyakan hanya jadi penonton, tidak paham sama sekali apa yang harus mereka lakukan.
Sahabat,
Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak sahabat yang khususnya beragama Islam untuk lebih menyadari akan pentingnya mengerti ilmu yang satu ini. Bagi sahabat non muslim, saya berharap bisa memperkaya khazanah pengetahuan kita.
Bahwa penyelenggarakan jenazah adalah kewajiban kifayah, jika sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka kewajiban tersebut otomatis gugur atas diri kita. Namun, mengetahui ilmunya, itu adalah fardhu ‘ain. Kewajiban asasi tiap muslim. Jangan sampai kita tidak mengetahuinya.
Secara garis besar, hal berikut harus kita pahami ketika orang-orang terdekat kita meninggal :
PERSIAPAN MEMANDIKAN
Begitulah Sahabat Baltyra…
Hal yang sehari-hari terlihat sepele, namun ketika sudah terjadi pada keluarga dekat kita, jangan biarkan orang-orang yang kita sayangi menunggu terlalu lama untuk disucikan.
Gambar-gambar yang tersaji saya ambil dengan kamera HP, (jadi maklum ya… kalau tidak jernih..) ketika beberapa hari yang lalu saya memberikan pelatihan janaiz pada masyarakat di daerah sekitar saya. Kebetulan ada yang bersedia menjadi model mayatnya, … lumayan bisa semakin paham. Meski setelah selesai, … buru-buru modelnya bangkit, sembari bolak-balik bergidik. Merinding, katanya. :D :D :D
Semoga bermanfaat.
Semoga kehangatan selalu menyertai kebersamaan kita.
Beberapa hari yang lalu, pagi-pagi saya mendapatkan sms dari salah seorang penjahit saya. “Maaf Mi,… saya tidak bisa datang hari ini, Mamah sudah susah, seluruh keluarga sudah kumpul.”
Saya hanya sanggup mengiyakan, sembari berkirim doa.
Jam 10-an pagi, sampai lagi sms, “Mi, mamah baru saja meninggal.” Innalillahi wa innailaihi raajiuun. Maka saya pun berkemas, menuntaskan pekerjaan. Namun ternyata saya masih ada jadwal ngeles anak-anak jam dua siang. Waduh,… sepertinya ba’da Ashar saya baru bisa ta’ziah.
Dan tenyata memang jam empat sore saya baru bisa sampai ke rumah duka. Saya lihat, jenazah masih terbujur di ruang tengah, tertutup kain batik. Tidak begitu jelas, sudah terkafani atau belum.
“Kapan berangkat ke makam, Bu?” bisik saya pada salah seorang anaknya.
“Ini belum dimandikan, Mi… tukang memandikannya masih di Padalarang.” Jawabnya prihatin.
Gubraks deh …
Meninggal dari jam sepuluh pagi, jam empat sore belum di sucikan? Duuh… kasihan banget. Maka tanpa banyak kata, saya ajak anak-anak almarhumah utuk memandikan jenazah ibunya. Kain kafan saya potong srat sret, digelar di ruang tengah dan bersama kami tuntaskan kewajiban mensucikan jenazah tersebut. Walau terus terang, gemes banget saya pada keluarganya, karena mereka kebanyakan hanya jadi penonton, tidak paham sama sekali apa yang harus mereka lakukan.
Sahabat,
Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak sahabat yang khususnya beragama Islam untuk lebih menyadari akan pentingnya mengerti ilmu yang satu ini. Bagi sahabat non muslim, saya berharap bisa memperkaya khazanah pengetahuan kita.
Bahwa penyelenggarakan jenazah adalah kewajiban kifayah, jika sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka kewajiban tersebut otomatis gugur atas diri kita. Namun, mengetahui ilmunya, itu adalah fardhu ‘ain. Kewajiban asasi tiap muslim. Jangan sampai kita tidak mengetahuinya.
Secara garis besar, hal berikut harus kita pahami ketika orang-orang terdekat kita meninggal :
- Ketika sakaratul maut, talkinkan kalimat tauhid di telinganya. Talkin, sifatnya doktrin, maka harus dengan kata yang tegas.
- Setelah meninggal, tutup mata dan mulutnya.
- Lepas semua baju, seyampang masih bisa.
- Jika mayat memakai gigi palsu, sebisa mungkin dilepaskan.
- Taruh jenazah di tempat yang representative, jangan di ruangan yang gelap yang terkesan ‘keueung’.
- Hubungi keluarga yang lain, siapkan peralatan penyelenggaraan jenazah.
PERSIAPAN MEMANDIKAN
- Pastikan tempat tertutup, air yang cukup.
- Posisikan jenazah kepala di sebelah utara, kaki disebelah selatan.
- Ambil satu gayung air, baca basmalah, siramkan dari ujung kepala ke ujung kaki.
- Wudhu’kan jenazah.
- Segera bersihkan dengan sabun dan sampo, perhatikan bagian mata, telinga dan giginya. Dengan cotton bud pastikan semuanya bersih.
- Tekan-tekan perut (kecuali mayat yang sedang hamil, jangan sekali-kali ditekan atau digoyang!!!!), bersihkan dubur dan qubul, pastikan bahwa sempurna kebersihannya kemudian tutup dengan kapas. Jangan lupa sela-sela jari kaki dan tangan dibersihkan pula.
- Setelah yakin bersih, sucikan kembali dengan wudhu’.
- Siram dengan air kamper. Keringkan dan siap dikafani.
- Posisikan jenazah di tengah-tengah kafan. Hal ini penting karena pada waktu memakaikan pakaian, jenazah tidak bisa disuruh-suruh geser sendiri, sementara kalau kita harus menggeser-geser lagi, lumayan berat. Jika posisi pas, kita tinggal memakaikan bajunya dan membungkus dan menalinya.
- Lapisi lipatan-lipatan anggota badan dengan kapas yang sudah dipersiapkan.
- Ambil lapis demi lapis, jangan bersamaan. Jangan lupa, tiap lapis kita percikan minyak wangi dan kamper yang sudah dihaluskan.
- Sisakan bagian wajah, karena biasanya ini akan ditutup ketika sudah akan diberangkatkan ke makam. Dengan demikian sanak saudara yang datang masih bisa melihat wajah almarhum.
- Selama proses memandikan dan mengkafani jenazah, jaga aurat inti dari jenazah, jangan sampai terbuka. Tutupi dengan kain.
- Jaga lisan kita selama dan sesudah proses penyelenggaraan jenazah, tidak boleh membuka aib almarhum.
Begitulah Sahabat Baltyra…
Hal yang sehari-hari terlihat sepele, namun ketika sudah terjadi pada keluarga dekat kita, jangan biarkan orang-orang yang kita sayangi menunggu terlalu lama untuk disucikan.
Gambar-gambar yang tersaji saya ambil dengan kamera HP, (jadi maklum ya… kalau tidak jernih..) ketika beberapa hari yang lalu saya memberikan pelatihan janaiz pada masyarakat di daerah sekitar saya. Kebetulan ada yang bersedia menjadi model mayatnya, … lumayan bisa semakin paham. Meski setelah selesai, … buru-buru modelnya bangkit, sembari bolak-balik bergidik. Merinding, katanya. :D :D :D
Semoga bermanfaat.
Friday, July 13, 2012
Mengenang Ola
Aku tak ingat nama lengkapnya...ia pun paham aku tidak bisa berbahasa arab maka ia beritahukan nama panggilannya saja, Ola. Wanita ini lebih muda dariku, umurnya 33 tahun, berasal dari Mesir, suaminya seorang dokter gigi yang juga tengah mencari nafkah di Saudi Arabia. Aku mengenalnya karena sofa bed kami dalam tenda group haji 2 tahun lepas, bersebelahan. Ola mengenakan jilbab, seluruh wajahnya tertutup...masyaAllah...aku pernah berkata padanya, aku ingin mengenakan jilbab seperti dia. Lalu kutanya kenapa dia memakainya. Ola menjawab karena Allah dia ingin memakainya. Kenapa ada muslimah yang memakai dan kenapa ada yang tidak, Ola? Karena memang ulama berbeda pendapat ada yang mewajibkannya dan ada yang menjadikannya sunnah. Mengenakan hijab yang menampakkan wajah dan kedua tangan pun tidak apa-apa, ada dalilnya tapi makin kita mempelajari Al Qur'an dan Sunnah kita akan paham dan makin ingin mengerjakan apa yang telah kita ketahui (perintah2 Allah dalam Al Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad saw). Kamu tahu, istri-istri Rasulullah saw mengenakan pakaian seperti ini? Nah, saya ingin seperti istri2 Rasulullah saw.
Ola juga mengajarkanku bahasa arab sedikit. Suatu kali dia bilang aku sudah pintar namun ketika dia tanya aku dengan bahasa arab, aku malah tidak bisa menjawabnya. Dia bilang..itu penyakit ain. Katanya, dia seharusnya mengucapkan masyaAllah...karena aku bisa bahasa arab karena Allah bukan karena aku...
Sekarang aku jadi membiasakan diri mengucapkan masyaAllah atau lebih lengkap laa quwwata ilah billah...
Ola juga sudah hapal Al qur'an beberapa juz dan dia menasihatiku, kalau mau hapal Al Qur'an, tinggalkanlah lagu dan musik...
MasyaAllah, Ola...kata-katamu kadang terdengar saklek tapi perkataanmu yang haq...aku gak mungkin lupa dirimu.
Mengenang Mbak Haryati
MasyaAllah...wanita ini egitu baik padaku dan keluargaku.
Tutur katanya begitu lemah lembut dan hati-hati sekali supaya tidak menyakiti orang lain.
Dia suka cinta damai.
Dia selalu perhatian padaku dan anak-anakku.
Dia, suami dan anak-anak mereka pun bersedia menjaga anak-anakku ketika aku dan suami berumrah mengantar mama dan papa juga ketika kami berdua menunaikan ibadah haji.
Bahkan setahun lalu, ketika gantian mbak Har sekeluarga menunaikan ibadah haji. Kutitipkan kakak dalam penjagaannya di tenda annisa. Kakak menunaikan ibadah haji berdua dengan ayah sementara aku di rumah menjaga adiknya.
Wanita ini pun mahir membaca Al Qur'an, suaranya begitu indah dan tajwidnya benar. Sekarang ia sedang hamil dan selalu aktif mengaji, menghapal Qur'an, mendengarkan kajian ustadz. MasyaAllah, semoga anak dalam kandungannya menjadi anak sholiha, hafidzhoh Qur'an...begitu juga anak2 lainnya, menjadi sebaik2 perhiasan dunia, wanita sholiha...amiin.
MasyaAllah dia selalu ceria, cekatan dalam bekerja...pandai mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak, memasak, membuat kue, menjahit, berkebun...segala macam. Aku ingat dia pun pernah memotong kainku, menjahitkannya, menjadikan gorden kamarku yang baru dan cantik dalam sekejap, menjelang kedatangan ibu bapak mertuaku.
Mbak Haryati...aku tidak mampu membalas kebaikanmu yang banyak. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik dan lebih banyak, amiin. Semoga Allah menjaga mbak Haryati dan anak-anak mbak semuanya, orangtua mbak Haryati juga...karena mbak Haryati telah menjaga anak-anak saya dan berbuat baik kepada orangtuaku sekaligus bapak ibu mertuaku...
Aku ingin seperti mbak Haryati yang baik hati, ramah, suka menolong, menjamu tamu dengan baik...semoga Allah memudahkanku...amiin.
Mengenang Abiir...
Dua tahun yang lalu aku dan suami kembali menunaikan ibadah haji. Waktu itu suami ba'dal kan almarhum kakeknya. Sedangkan aku mengulang kembali ibadah haji delapan tahun yang lalu dari tanah air dimana aku merasa banyak kekurangan dan kesalahan. Alhamdulillah Allah memberi kesempatan tinggal di Saudi Arabia. Kami berjabung dengan hamlah lokal tapi aku tidak sendiri yang orang luar. Orang-orang yang berasal dari luar Saudi dimasukkan dalam satu group dan tenda yang sama. Disana aku mengenal Abiir. Wanita muda berusia 25th berasal dari Aljeria dan masih pengantin baru. Suaminya juga orang Aljeria. We are in the same boat...suaminya juga engineer yang sedang bekerja di Saudi Arabia.
Abiir yang cantik juga harum sesuai namanya. Dia hapal seluruh surat dalam Al Qur'an masyaAllah. Ketika usia 14 tahun dia ingin seperti tantenya yang seorang daiyyah. Dia senang mendengar nasihat tantenya, berbicara, berdiskusi dengannya. Kemudian setelah lulus "high school" ia melanjutkan kuliah di jurusan science of Islam. Semenjak kuliah hingga lulus dia pun selesai menghapalkan Al Qur'an.
MasyaAllah...aku dan teman-teman biasanya menunjuk dia sebagai imam shalat wajib berjamaah karena dia yang paling banyak dan benar hapalannya, pilihan kedua barulah Ola. Abiir juga mau membimbingku membaca Qur'an dengan tajwid yang benar disela-sela kegiatannya murojaah Qur'an dengan ustadzah di sana.Aku termotivasi oleh Abiir...aku berusaha menghapal Al Qur'an..namun baru juz 30 saja yang telah kuhapalkan. Alhamdulillah...semoga menjadi awal yang baik dan tercapai cita-citaku menghapal seluruh surat dalam Al Qur'an, amiin. Alhamdulillah aku menerapkan pada anakku, Muhammad. Walaupun tajwidnya masih banyak salah tapi Alhamdulillah...surat demi surat kuajarkan ia, semoga Allah memudahkan Muhammad dalam menghapalkannya...amiin.
Untuk kakak tercinta, ibu berdoa semoga apa yg ibu lakukan bisa menjadi contoh buatmu...
Maafkan ibu yang bukanlah seperti tante x yang pintar berbicara dalam seminar, workshop dan semacamnya. Semoga kelak engkaulah yang menjadi wanita bermanfaat bagi ummat, seorang psikolog yang Islami (sesuai cita2mu menjadi psikolog), yang bicaramu berdasarkan Al Qur'an dan As sunnah...amiin.
Abiir, pengalaman seminggu bersamamu begitu indah. Kita shalat berjamaah, mentadaburi Al qur'an bersama, berbagi cerita dan pengalaman, makan bersama, menolong jiddah, seorang nenek arab yang juga menjadi contoh teladan bagiku..bagi kita, masyaAllah...kami mengelap piring bersama,, membantu petugas catering...berdoa bersama di padang arafah dan kumintakan Abiir mendoakan anak-anakku..."Semoga Allah meletakkan Al Qur'an dalam qalbu anak-anakmu," doamu....Amiin..amiiin...amiin...taqabbal du'a ya Rabbana....
Dua tahun yang lalu aku dan suami kembali menunaikan ibadah haji. Waktu itu suami ba'dal kan almarhum kakeknya. Sedangkan aku mengulang kembali ibadah haji delapan tahun yang lalu dari tanah air dimana aku merasa banyak kekurangan dan kesalahan. Alhamdulillah Allah memberi kesempatan tinggal di Saudi Arabia. Kami berjabung dengan hamlah lokal tapi aku tidak sendiri yang orang luar. Orang-orang yang berasal dari luar Saudi dimasukkan dalam satu group dan tenda yang sama. Disana aku mengenal Abiir. Wanita muda berusia 25th berasal dari Aljeria dan masih pengantin baru. Suaminya juga orang Aljeria. We are in the same boat...suaminya juga engineer yang sedang bekerja di Saudi Arabia.
Abiir yang cantik juga harum sesuai namanya. Dia hapal seluruh surat dalam Al Qur'an masyaAllah. Ketika usia 14 tahun dia ingin seperti tantenya yang seorang daiyyah. Dia senang mendengar nasihat tantenya, berbicara, berdiskusi dengannya. Kemudian setelah lulus "high school" ia melanjutkan kuliah di jurusan science of Islam. Semenjak kuliah hingga lulus dia pun selesai menghapalkan Al Qur'an.
MasyaAllah...aku dan teman-teman biasanya menunjuk dia sebagai imam shalat wajib berjamaah karena dia yang paling banyak dan benar hapalannya, pilihan kedua barulah Ola. Abiir juga mau membimbingku membaca Qur'an dengan tajwid yang benar disela-sela kegiatannya murojaah Qur'an dengan ustadzah di sana.Aku termotivasi oleh Abiir...aku berusaha menghapal Al Qur'an..namun baru juz 30 saja yang telah kuhapalkan. Alhamdulillah...semoga menjadi awal yang baik dan tercapai cita-citaku menghapal seluruh surat dalam Al Qur'an, amiin. Alhamdulillah aku menerapkan pada anakku, Muhammad. Walaupun tajwidnya masih banyak salah tapi Alhamdulillah...surat demi surat kuajarkan ia, semoga Allah memudahkan Muhammad dalam menghapalkannya...amiin.
Untuk kakak tercinta, ibu berdoa semoga apa yg ibu lakukan bisa menjadi contoh buatmu...
Maafkan ibu yang bukanlah seperti tante x yang pintar berbicara dalam seminar, workshop dan semacamnya. Semoga kelak engkaulah yang menjadi wanita bermanfaat bagi ummat, seorang psikolog yang Islami (sesuai cita2mu menjadi psikolog), yang bicaramu berdasarkan Al Qur'an dan As sunnah...amiin.
Wednesday, July 11, 2012
HARI PERTAMA BERCADAR (KISAH NYATA)
“Saya dulu tinggal di Jakarta Utara (dekat laut), daerahnya sangat panas, apalagi jika siang hari. Suatu hari saya melihat seorang wanita berpakaian jubah panjang dengan memakai hijab dan wajahnya ditutup dengan cadar. Saya bergumam dalam hati: Ini perempuan aneh sekali?! Koq mau tubuhnya ditutup dengan cadar dan jubah panjang, apalagi panas2 begini. Bagaimana rasanya ya?” Dan juga komentar2 negatif lainnya yang keluar dari lisan saya.
Tidak menyangka rupanya wanita itu adalah tetangga saya sendiri, dan rumahnya tidak jauh dengan rumah saya, beda beberapa gang. Namun saya baru pertama kali melihat wanita tersebut. Mungkin dikarenakan wanita tersebut jarang keluar rumah. Begitulah yang terjadi pada diri saya setiap melihat wanita yang bercadar, selalu muncul komentar yang negatif atau pandangan yang aneh tentang wanita tersebut.
Hingga tiba saatnya bagi saya dimana hari itu adalah hari pertama saya mengenakan cadar. Sekarang manusia lah yang banyak berkomentar negatif dan menganggap saya wanita yang aneh. Mungkin ini salah satu balasan untuk saya ketika saya dulu menganggap aneh wanita yang bercadar, dan sekarang gantian mereka yang menganggap saya aneh. Namun setidaknya hari ini saya sedikit merasa bebas, karena sudah tidak ada lagi laki2 lain yang bisa melihat wajah saya, tidak ada lagi yang dapat memandangi saya dengan pandangan birahi atau khayalan2 yang buruk. Seandainya mereka mencela dan tidak suka terhadap pakaian saya ini (cadar), maka hal itu malah akan semakin menambah kebaikan untuk saya, selama saya mampu bersabar, Insya Allah.
Hingga cadar yang saya tutupkan ke wajah saya ini terpaksa harus saya buka pada suatu hari, dan saya harus menampakkan wajah saya ini ke seseorang laki2 yang bukan mahram dan belum saya kenal sebelumnya!
Kenapa? karena laki2 itu ingin berta’aruf dengan saya dan ingin mengetahui rupa wajah saya, sehingga saya terpaksa menampakkan wajah saya kepadanya dengan berjuta rasa malu. Jadilah hari itu adalah hari dimana wajah saya yang berharga ini saya perlihatkan kepada laki2 itu, walaupun perasaan hati ini sangat berat dan penuh rasa malu. Cukuplah hari itu adalah hari yang terakhir -Insya Allah- saya menampakkan wajah saya ini kepada laki2 asing.
Dan apa yang terjadi terhadap laki2 yang telah berani melihat wajah saya itu?
Iya…laki2 itu sekarang telah menjadi seorang ayah dari anak2 kami. Namun kami tidak tinggal di daerah Jakarta Utara yang panas lagi, melainkan sekarang menempati daerah yang lebih sejuk dari Jakarta -insya Allah- yaitu Bojonggede, Bogor.”
(Ummu Fulan).http://
— with Ummu Tasnim Rizkina, Herna Neng and Effy Ummu Khansa.
TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
http://almanhaj.or.id/content/
Bentuk-Bentuk Tabarruj [1]
1. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan
meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari
kedua pundak dan bukan dari atas kepala [2]. Ini bertentangan dengan
makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ
“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”
[al-Ahzaab: 59].
Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh
wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat
Islam.
2. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua
bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk
bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang
menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh
tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk
bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.
3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan
bagi wanita yang mengenakannya.
Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar
rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan
laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ...
“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan
perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak
mereka…” [an-Nuur: 31].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan
diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi
perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya
justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda
lihat, sangat jelas dan tidak samar” [3]
Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang
banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan
renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat
menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya
sebagai perhiasan baginya.
Insya Allah, pembahasan tentang ini akan penulis ulas lebih rinci pada
pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.
4. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis
maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat)
cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan)
seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu
terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan
tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat
dicium dari jarak sekian dan sekian” [4]
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan
pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan
sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka
telanjang” [5]
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam
“al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul
Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat
Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan
dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut
dan berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang
diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma meminta kerudung lain dan memakaikannya”.
5. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan
(bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian
yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang,
sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari
memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat
terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun
jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi
membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata
laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan
pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan)
jilbab/pakaian yang longgar” [6]
Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan
kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang
memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian
yang dipakai para wanita di jaman ini [7]
Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang
syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di
antaranya: hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal
(sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab
tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [8]
Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal,
pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk
istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku
berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai
pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku
khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)”
[9].
Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian
qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun
demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi
wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain,
agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika
pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga
mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya.
Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa
ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan
sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu
anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam keadaan buta
matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian tersebut dengan
tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan pakaian ini
padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata
kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka
Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak tipis
tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya” [10].
6. Termasuk tabarruj: wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun
dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu
melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita
itu adalah seorang pezina” [11].
Bahkan dalam hadits shahih lainnya [12], Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita
yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di
mesjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang
keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.
Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya
seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk
dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya [13]
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh
wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab)
untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi,
perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh
mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika
keluar rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai
wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan
tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki)
ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan
untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua
ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan
(fitnah)” [14].
7. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian yang menyerupai
pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan
pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki”
[15]
Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [16]
Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang
menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian
maupun hal lainnya [17]
Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang
memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah
bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang
memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang
menyerupai laki-laki” [18]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan
budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau
berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model)
laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [19]
Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita
yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana
panjang model laki-laki [20]
Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai
laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka
berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada
zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [21].
8. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu
pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya,
dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[22]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya
pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya
api Neraka” [23]
Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini,
karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara
berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain.
Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada
perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka.
Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan
biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan
memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian
yang dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal,
bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan
dia disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang.
Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini
ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya
disembunyikan.
Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar
rumah, karena ini diharamkan pada zatnya [24].
_______
Footnote
[1]. Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi
asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad
Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[2]. Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141).
[3]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120).
[4]. Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir”
(hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani, dan
hadits kedua riwayat imam Muslim (no.
[5]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).
[6]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[7]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 132-133).
Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan
jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[8]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[9]. HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[10]. Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252)
dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 127).
[11]. HR an-Nasa'i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424)
dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban,
al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani.
[12]. Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031).
[13]. Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 139).
[14]. Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).
[15]. HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325),
al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh
Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 141).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 5546).
[17]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 146-147).
[18]. HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[19]. Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261).
[20]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150), “Syarhul
kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab
fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).
[21]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul
kaba-ir” (hal. 212).
[22]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213).
[23]. HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad (2/92),
dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[24]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
http://almanhaj.or.id/content/ 3296/slash/0
Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan
disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan
dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di
hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah
memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda,
ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk
tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan
keindahan yang seharusnya disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang
longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan
hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru
semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini
jelas termasuk tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa
tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan,
supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan
keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita
untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka
kepada selain mahram atau suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir
juga disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan
keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang
menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang
dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan
kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi
celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai
dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan
baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini
termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai
oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang
telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat
Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita”
[2]
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan
perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk
sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3],
na’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada
sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk
ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang
terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan
mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain
penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku
memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka
keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di
kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan
tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan
(dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini
telah tersebar merata” [4]
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi,
yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan:
syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin
Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai
berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi
wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam
(dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan
kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari
fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya
sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut
tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu,
‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan
(pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun
simbol-simbol” [5]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau
pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian
luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi)
bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita
yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh
terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal)
dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan
dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh
mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”
[al-Baqarah: 29].
Dan Firman-Nya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam
perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang
mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi
laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal
(menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan
pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum
memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum)
asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian
tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat
hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya),
maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena
pakaian itu menimbulkan fitnah” [6]
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang
dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini
dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas
mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua
maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas
merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian
yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan
menyilaukan mata” [8].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan
keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita
adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas,
dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan
tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian,
sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar
kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya
(perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki),
karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah
dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita
Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj,
nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para
wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan
tidak boleh bagi wanita” [9]
Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk
perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna
selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa
wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua
alasan:
- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum
wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10]
- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu
anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah,
bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam…” [11].
Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan
ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami
nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita
tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat
warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian
bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani
sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan
syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada
syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita
yang memakainya) pada zatnya [12]
Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru
tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang
dan menyolok.
Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna
hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi
perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian
(berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih
menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat)
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma
melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka
Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita
Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam)
seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13].
Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian
kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif
dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:
1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam
shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang
bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu
Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju
ini sanaah (bagus)”.
Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama
salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15]
maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif
bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid
Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil,
bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu
anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih
kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa
pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa
diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang
telah dewasa.
2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah.
‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil
(tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki
penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma
kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan
ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar
harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna
hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di
atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’
masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur
Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih
kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’
melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang
membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah,
karena alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda
tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.
- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar,
kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh
dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut
dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu
diperbolehkan.
- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana
keterangan imam Ibnu Hajar di atas.
3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa
bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian
seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna
gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di
Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi
‘urf (kebiasaan) masyarakat.
Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan)
masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan
dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting
diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak
boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18]
Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil
syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang
pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa
syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram
dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak
dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti
pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab
sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat
lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan
kekeliruan yang nyata.
Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari
Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah
dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena
dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di
dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan
duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir
dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan
dengan “al-Qur'an” [19].
Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah
Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita
mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa
Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan
sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada
kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah
Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama
Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن
الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
_______
Footnote
[1]. Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[2]. HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[3]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 232).
[4]. Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[5]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[6]. Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[7]. Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8]. Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]. Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10).
[10]. HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
[11]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).
[12]. Ibid (hal. 119).
[13]. Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[14]. No. 3661 dan no. 5485.
[15]. Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[16]. No. 1539.
[17]. Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[18]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman
Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di
majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[19]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris
sa’aadah” (1/227).
[20]. Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih
oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
http://almanhaj.or.id/content/
Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan
disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan
dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di
hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah
memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda,
ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk
tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan
keindahan yang seharusnya disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang
longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan
hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru
semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini
jelas termasuk tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa
tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan,
supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan
keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita
untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka
kepada selain mahram atau suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir
juga disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan
keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang
menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang
dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan
kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi
celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai
dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan
baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini
termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai
oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang
telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat
Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita”
[2]
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan
perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk
sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3],
na’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada
sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk
ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang
terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan
mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain
penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku
memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka
keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di
kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan
tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan
(dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini
telah tersebar merata” [4]
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi,
yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan:
syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin
Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai
berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi
wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam
(dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan
kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari
fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya
sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut
tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu,
‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan
(pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun
simbol-simbol” [5]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau
pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian
luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi)
bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita
yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh
terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal)
dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan
dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh
mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”
[al-Baqarah: 29].
Dan Firman-Nya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam
perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang
mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi
laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal
(menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan
pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum
memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum)
asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian
tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat
hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya),
maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena
pakaian itu menimbulkan fitnah” [6]
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang
dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini
dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas
mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua
maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas
merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian
yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan
menyilaukan mata” [8].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan
keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita
adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas,
dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan
tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian,
sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar
kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya
(perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki),
karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah
dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita
Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj,
nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para
wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan
tidak boleh bagi wanita” [9]
Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk
perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna
selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa
wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua
alasan:
- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum
wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10]
- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu
anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah,
bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam…” [11].
Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan
ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami
nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita
tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat
warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian
bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani
sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan
syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada
syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita
yang memakainya) pada zatnya [12]
Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru
tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang
dan menyolok.
Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna
hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi
perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian
(berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih
menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat)
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma
melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka
Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita
Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam)
seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13].
Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian
kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif
dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:
1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam
shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang
bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu
Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju
ini sanaah (bagus)”.
Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama
salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15]
maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif
bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid
Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil,
bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu
anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih
kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa
pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa
diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang
telah dewasa.
2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah.
‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil
(tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki
penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma
kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan
ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar
harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna
hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di
atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’
masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur
Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih
kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’
melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang
membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah,
karena alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda
tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.
- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar,
kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh
dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut
dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu
diperbolehkan.
- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana
keterangan imam Ibnu Hajar di atas.
3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa
bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian
seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna
gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di
Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi
‘urf (kebiasaan) masyarakat.
Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan)
masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan
dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting
diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak
boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18]
Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil
syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang
pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa
syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram
dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak
dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti
pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab
sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat
lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan
kekeliruan yang nyata.
Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari
Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah
dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena
dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di
dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan
duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir
dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan
dengan “al-Qur'an” [19].
Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah
Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita
mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa
Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan
sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada
kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah
Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama
Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن
الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
_______
Footnote
[1]. Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[2]. HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[3]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 232).
[4]. Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[5]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[6]. Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[7]. Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8]. Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]. Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10).
[10]. HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
[11]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).
[12]. Ibid (hal. 119).
[13]. Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[14]. No. 3661 dan no. 5485.
[15]. Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[16]. No. 1539.
[17]. Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[18]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman
Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di
majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[19]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris
sa’aadah” (1/227).
[20]. Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih
oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Monday, July 9, 2012
Family Photographs for the sake of remembrance
7 Votes
First question from Fatwa No. 2296
Q 1: What is the ruling on taking photographs for the whole family and others for the sake of remembrance and amusement only?
A: Photographing living beings is prohibited and one of the major sins whether a photographer considers it to be their job or not and whether it is a drawing, photograph or sculpture. Keeping these photographs, pictures or sculptures for remembrance or any other purpose will not change its ruling as there are many Hadiths reported in this regard. These Hadiths are general for all kinds of Taswir (drawing, photographing and sculpturing). Nothing is exempted from this ruling except what is necessarily required.
May Allah grant us success! May peace and blessings be upon our Prophet Muhammad, his family, and Companions!
Fatwa no. ( 4636 ): Q: I want to describe to you something that people have adopted as a recent custom. Since around 1390 A.H. approximately, people have become accustomed to arranging wedding ceremonies, during which they take the bride and the bridegroom home in a procession and then take many photos of them and their families. These photos are then distributed among the relativesand friends as gifts. Weddings are now seen as incomplete without this custom, except by less than one percent of the population, although it is refuted by sound reason. What is the religious opinion on this? Please advise us – and may Allah enlighten you – through broadcasts, in newspapers, or “Da`wah (calling to Islam) Magazine.” However, if you answer me through the magazine, please cite irrefutable evidence, whether of its prohibition or permissibility. May Allah protect you.
A: What you mentioned regarding taking photos of the bride, the bridegroom, and their families during wedding ceremonies is Haram (prohibited) and is one of the bad wedding customs. This is so, because taking pictures of beings with a soul is absolutely Haram and a major sin. The basic ruling concerning making pictures of beings with souls, such as human beings and animals, is that it is Haram, whether the pictures are three-dimensional; drawings on paper, material, walls, or anywhere else; or photographs, as based on a Sahih (authentic) Hadith related from the Messenger of Allah (peace be upon him). He prohibited it, cursed those who do so and then threatened them with a painful torment. As pictures can be a means to Shirk (associating others in worship with Allah), he did this to safeguard people from standing before them, submitting to them, trying to draw near to them, and extolling them in a manner that befits only Allah (Exalted be He). It was also prevented as it amounts to imitating Allah’s Creation; and due to the Fitnah (temptation) that some pictures, such as those of actresses, semi-naked women, beauty queens, and the like contain.
Among the Hadith that show that taking pictures is prohibited and indicate that it is a major sin is the Hadith reported on the authority of Ibn `Umar (may Allah be pleased with them both), who said that the Messenger of Allah (peace be upon him) said, Those who make these pictures will be punished on the Day of Resurrection and it will be said to them, ‘Give life to what you created.’ Recorded by Al-Bukhary and Muslim. There is also the Hadith narrated by `Abdullah ibn Mas`ud (may Allah be pleased with him) who said that he heard the Messenger of Allah (peace be upon him) say, The people who will receive the severest punishment on the Day of Resurrection will be those who made pictures. Recorded by Al-Bukhary and Muslim. There is also the Hadith reported by Abu Hurayrah (may Allah be pleased with him) who said that he heard the Messenger of Allah (peace be upon him) saying, Allah (may He be Exalted) said: “Who is worse than someone who tries to create a creation like Mine? Let them create an atom, a grain of wheat, or a grain of barley.” Reported by Al-Bukhary and Muslim. And the Hadith reported by `A’ishah (may Allah be pleased with her) who said, The Messenger of Allah (peace be upon him) came to me after a journey, and I had screened my alcove with a curtain on which there were pictures. When the Messenger of Allah (peace be upon him) saw it, the color of his face changed (due to anger) and he said, ‘O `A’ishah! The people who will receive the severest punishment on the Day of Resurrection will be those who imitate Allah’s Creation.’ So we tore it up and we made a cushion or two cushions from it. Recorded by Al-Bukhary and Muslim. (The alcove that was screened by the curtain was an arched opening in the wall.) There is also a Hadith narrated by Ibn `Abbas (may Allah be pleased with them both) who said that he heard the Messenger of Allah (peace be upon him) saying, Anyone who makes pictures in this world will be assigned to breathe a soul into them on the Day of Resurrection, but will not be able to breathe. Recorded by Al-Bukhary and Muslim. There is yet another Hadith reported by him that the Messenger of Allah (peace be upon him) said, Every image-maker will be in the Fire. Every picture that they made will be given a soul and will torment them in Hell.
Ibn `Abbas (may Allah be pleased with them both) added, If you must do it, make pictures of trees and that which has no soul. Recorded by Al-Bukhary and Muslim. And there is another Hadith reported by Abu Juhayfah who said about the Prophet (peace be upon him) that He cursed those who accept Riba (usury), those who give it, and he cursed the image-makers. Recorded by Imam Al-Bukhary in his Sahih [Book of Authentic Hadith]).
The general meaning of these Hadith is that making pictures of anything that has a soul is absolutely prohibited. However, it is permissible to make pictures of objects without a soul, such as trees, the sea, mountains, and the like, as mentioned by Ibn `Abbas (may Allah be pleased with them both), and it is not known that any of the Sahabah (Companions) refuted what he said. This is understood from the following phrase that was mentioned in the Hadith of the threat to Give life to what you created. And also these words in the Hadith: Will be assigned to breathe a soul into them on the Day of Resurrection, but will not be able to breathe.
May Allah grant us success! May peace and blessings be upon our Prophet Muhammad, his family, and Companions!
Permanent Committee for Scholarly Research and Ifta’
Source : alifta.com – Browse by volume number > The first group > Volume 1 (`Aqidah 1) > Creeds > Taswir >
Pembantaian Itu Jelas Akibat Dosa Kita
بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:
Jika benar, foto-foto yang disebar tentang dibantainya puluhan ribu kaum muslim di beberapa daerah yang kaum muslim di situ minoritas, sungguh sangat menyedihkan, menyayat hati, meneteskan air mata dan hanya bisa berucap:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى
Semoga Allah memberikan ampunan dan rahmat kepada saudara-saudara kita seiman YANG DIBANTAI TERSEBUT…
Semoga dengan ini Allah mengangkat derajat mereka di Surga… Allahumma Amin
Semoga dengan ini Allah mengangkat derajat mereka di Surga… Allahumma Amin
Pembantaian itu jelas akibat dosa kita…
Allah Ta’ala Befirman:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ} [الشورى: 30]
Artinya: “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).
Kembalilah kepada Agama maka kita akan ditolong oleh Allah…
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ ».
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu bentuk transaksi riba-pent), kalian sibuk dengan ekor-ekor sapi, kalian telah rela dengan peternakan dan kalian telah meninggalkan jihad, maka niscaya Allah merasakan kepada kalian kehinaan, tidak akan diangkat kehinaan tersebut SAMPAI KALIAN KEMBALI KEPADA AGAMA KALIAN. HR. Abu Daud.
Ayolah saudaraku seiman, hanya dengan kembali kepada agama, kita akan selamat dari kehinaan; dibantai, dihina, disiksa, diperkosa oleh umat lain!
Ayolah saudaraku seiman, jangan tunda-tunda, sembahlah Allah semata, taatlah kepada-Nya, contohlah hanya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. BUKANKAH HATI KESAL, GERAM, MARAH KETIKA ADA SAUDARI KITA SEIMAN DIPERKOSA, DIHINAKAN, SAUDARA KITA SEIMAN DIBAKAR!?!
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِى تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِى وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِى وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diutus dengan pedang samapi disembah Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku serta dijadikan kehinaan dan kesengsaraan bagi siapa yang menyelisihi perintahku, barangsiapa yang menyerupakan diri dengan suatu kaum maka ia bagian dari mereka.” HR. Ahmad
Sudahlah saudaraku seiman…sudahi perbuatan yang menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sudahlah saudaraku seiman…sudahi perbuatan yang menyerupakan diri dengan orang-orang kafir.
BAYANGKAN YANG DIBANTAI ITU SAUDARA KANDUNGMU…
BAYANGKAN YANG DIPERKOSA ITU SAUDARIMU, IBUMU, ADIK PEREMPUANMU!!!
BAYANGKAN YANG DIBAKAR ITU KERABAT-KERABATMU!!!
SEDANGKAN ANDA HANYA BISA MENYAKSIKAN! SUNGGUH SANGAT MEMILUKAN, MENYEDIHKAN DAN DISAMPING ITU MENGHINAKAN!!!
Sudahlah saudaraku seiman…sudahi perbuatan yang menyerupakan diri dengan orang-orang kafir.
BAYANGKAN YANG DIBANTAI ITU SAUDARA KANDUNGMU…
BAYANGKAN YANG DIPERKOSA ITU SAUDARIMU, IBUMU, ADIK PEREMPUANMU!!!
BAYANGKAN YANG DIBAKAR ITU KERABAT-KERABATMU!!!
SEDANGKAN ANDA HANYA BISA MENYAKSIKAN! SUNGGUH SANGAT MEMILUKAN, MENYEDIHKAN DAN DISAMPING ITU MENGHINAKAN!!!
Semoga bermanfaat bagi yang tidak tega melihat saudaranya seiman dibantai!!!
Ahmad Zainuddin
Ahad, 18 Sya’ban 1433H, Dammam KSA
Ahmad Zainuddin
Ahad, 18 Sya’ban 1433H, Dammam KSA
Derita Muslim Rohingya Myanmar: 15.000 Tewas, 21 Masjid Dibakar!
Rentetan kekejaman terhadap Muslim Rohingnya di Arakan, Myanmar, masih terus berlangsung. Sejauh ini, jumlahMuslim yang tewas mencapai 15 ribu orang. Sebanyak 30 ribu Muslim dinyatakan hilang, sedangkan 5.000 orang lainnya ditahan, yang kebanyakannya adalah pemuda. Demikian laporan Nahzdatul Mufaqqirin, seperti dirilis EraMuslim, Jum’at (29/6).
Masjid juga tak luput dari target kekejaman orang-orang Budha Myanmar. Sedikitnya 21 masjid telah dibakar. Nahzdatul Mufaqqirin merinci, masjid-masjid yang dibakar itu terletak di desa Kemboh, Furam (2 masjid), Zailar (5 masjid), Buhor, Folton, Shun Dori, Dirom, Godubah, Forhali, Noyah, Shel Gara, Honsi, Am Bari, Sinkir, Santoli, dan Bodur.
Selain pembunuhan dan tindak kekejaman yang melukai fisi, kerugian harta dan kehormatan juga dialami Muslim Rohingnya. Massa Budha dilaporkan merampok dan menjarah desa-desa Muslim di Arakan serta memperkosa sejumlah Muslimah di sana. Ribuan Muslim yang ketakutan dengan kekejaman yang terus berlangsung, memilih mengungsi ke Bangladesh. Pejabat imigrasi Bangladesh memperkirakan, saat ini terdapat300 ribu pengungsi Rohingya. Mereka memilih Bangladesh dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Namun, pengungsian tersebut bukan berarti tanpa masalah. Pekan lalu pihak berwenang Bangladesh memulangkan secara paksa sekitar 2000 orang etnis Rohingya. Selain itu, di daerah pengungsian kondisi para Muslim juga sangat memprihatinkan karena kekurangan makanan dan gangguan kesehatan akibat tempat tinggal yang memprihatinkan. Pekan lalu perahu-perahu Rohingya yang akan mengungsi ke Bangladesh ditembaki, mengakibatkan sebagian penumpang meninggal sebelum berhasil menginjakkan kaki di Bangladesh. [IK/EM/Ar/Hdy/Rpb]
BURMA –Kekerasan di desa-desa Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine (Arakan) di Burma (Myanmar), meliputi pembunuhan, penjarahan, pembakaran, penangkapan masih berlangsung. Badan-badan internasional, seperti PBB, masih tak berdaya menghadapi sekelompok etnis Buddha yang didukung pasukan gabungan ‘keamanan’ Rakhine. Ribuan Muslim Rohingya telah gugur akibat dibantai oleh etnis Rakhine secara brutal. Puluhan ribu lainnya menjadi tunawisma dan sedang menderita kelaparan dan pengobatan di Arakan.
Media-media Burma yang pro-Rakhine telah menyebarkan propaganda terkait Muslim Rohingya. Mereka menggambarkan bahwa Muslim Rohingya adalah teroris dan yang membunuh serta membakar rumah-rumah etnis Buddha Arakan. Salah satu bukti bahwa orang-orang etnis Rakhine-lah yang melakukan kekerasan adalah bisa dilihat dari pakaian mereka yang memakai pakaian khas Buddhis atau celana pendek. Perlu diketahui bahwa kebanyakan Muslim Rohingnya, mereka biasa memakai sarung selutut, mungkin sangat jarang yang terlihat memakai celana pendek. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa etnis Buddha menyamar berpakaian seperti Muslim Rohingya, buktinya saja, polisi Burma yang menangkapi para pemuda Rohingya yang kemudian disiksa, mereka diperlengkapi senjata untuk diambil gambar mereka dan disebarkan.
Ribuan lainnya terpaksa melarikan diri ke negeri tetangga, Bangladesh, untuk menyelamatkan diri mereka. Sejumlah Muslim berhasil sampai ke Bangladesh dan berdiam diri di kamp pengungsian Lada, di selatan Bangladesh, yang dioperasikan oleh LSM Muslim Inggris yang menyediakan pengobatan dan bantuan makanan. Namun karena keterbatasan, kamp pengungsian dibangun dengan seadanya bahkan tidak layak. Tak semua Muslim Rohingya dapat tinggal di kamp pengungsian, disebabkan ribuan dari mereka telah diusir oleh otoritas Bangladesh karena dianggap ilegal. Sementara sejumlah Muslim juga ditahan oleh polisi-polisi perbatasan dan bahkan dihukum dijemur di atas pasir pantai yang panas.
Muslim Rohingya baik yang masih tinggal di Arakan dan sedang mengungsi ke negara tetangga, sedang dalam kondisi kritis, butuh pertolongan segera dari dunia internasional. Hingga kini Muslim Rohingya masih hidup dalam ketakutan.
Jumlah kematian Muslim di Arakan capai 6000 jiwa
Kabar pembunuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan serta penangkapan Muslim Rohingya di negara bagian Arakan (Rakhine), Burma (Myanmar) masih terdengar. Kekerasan kejam tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir Buddha dan pasukan gabungan tentara Burma. Ribuan jiwa Muslim tak bersalah telah gugur (syahid insya Allah) dalam kekerasan yang memuncak akhir-akhir ini.
Berdasarkan laporan dari forum Ansar Al-Mujahidin, para saksi mata dari keluarga korban yang terus berkomunikasi melalui telepon, memperkirakan bahwa jumlah kematian Muslim di Arakan dapat mencapai 6000 jiwa hingga saat ini (innalillahi wa innailaihi roji’uun). Sementara belum ada media yang dapat merinci jumlah spesifik korban, mengingat media-media saat ini hanya menerima laporan dari warga Rohingya di Arakan yang selamat dan masih bisa berkomunikasi. Menurut saksi, jumlah-jumlah yang selama ini dinyatakan hanya mewakili bahwa benar-benar terjadi pembantaian brutal terhadap Muslim di Arakan.
Selain itu dikatakan bahwa para etnis kafir Buddha telah membunuh ratusan orang Rohingya kemudian melemparkan jasad mereka ke teluk Bengal. Untuk menyembunyikan fakta dan menyebarkan propaganda busuk, para penganut Buddha etnis Rakhine itu menempatkan pakaian-pakaian yang biasa dikenakan warga Buddha kepada Muslim yang meninggal dan mengklaim bahwa mereka adalah jasad orang Buddha yang menjadi korban.
Pasukan gabungan Nasaka dan orang-orang Buddha Rakhine juga menangkapi warga-warga Rohingya dari desa-desa mereka yang dapat memimpin penduduk Muslim, kebanyakan pria dewasa atau para pemuda, dibawa ke tempat yang tidak diketahui dan dikabarkan telah tewas tak terlihat oleh penduduk setempat.
Lebih jauh lagi, karena kebanyakan yang dibunuh adalah Muslim laki-laki, sehingga banyak Muslim tinggal di rumah mereka tanpa perlindungan dari laki-laki, dan banyak Muslimah serta anak-anak yang melarikan diri menuju perbatasan Bangladesh, namun ironisnya pasukan ‘keamanan’ perbatasan Bangladesh mengirim kembali perahu-perahu mereka ke Myanmar, sehingga orang-orang kafir Buddha menenggelamkan perahu-perahu kaum Muslimin dan membunuh para penumpangnya.
Sementara puluhan ribu Muslim Rohingya di kota-kota di Arakan sedang menderita kelaparan karena tidak ada pasokan pangan yang cukup, juga karena toko-toko mereka telah dibakar habis, dan mereka juga menderita karena harus menjadi tunawisma karena rumah-rumah mereka ludes terbakar, hanya tinggal di tempat-tempat pengungsian yang sangat buruk kondisinya.
© Bersamadakwah.com dan Kabarnet.Wordpress.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Artikel Terkait: Do’a Untuk Kaum Minoritas Muslimin di Myanmar
Subscribe to:
Posts (Atom)