TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
http://almanhaj.or.id/content/ 3296/slash/0
Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan
disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan
dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di
hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah
memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda,
ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk
tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan
keindahan yang seharusnya disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang
longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan
hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru
semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini
jelas termasuk tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa
tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan,
supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan
keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita
untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka
kepada selain mahram atau suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir
juga disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan
keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang
menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang
dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan
kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi
celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai
dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan
baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini
termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai
oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang
telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat
Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita”
[2]
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan
perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk
sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3],
na’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada
sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk
ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang
terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan
mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain
penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku
memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka
keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di
kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan
tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan
(dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini
telah tersebar merata” [4]
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi,
yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan:
syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin
Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai
berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi
wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam
(dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan
kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari
fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya
sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut
tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu,
‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan
(pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun
simbol-simbol” [5]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau
pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian
luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi)
bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita
yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh
terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal)
dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan
dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh
mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”
[al-Baqarah: 29].
Dan Firman-Nya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam
perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang
mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi
laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal
(menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan
pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum
memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum)
asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian
tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat
hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya),
maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena
pakaian itu menimbulkan fitnah” [6]
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang
dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini
dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas
mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua
maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas
merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian
yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan
menyilaukan mata” [8].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan
keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita
adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas,
dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan
tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian,
sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar
kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya
(perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki),
karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah
dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita
Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj,
nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para
wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan
tidak boleh bagi wanita” [9]
Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk
perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna
selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa
wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua
alasan:
- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum
wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10]
- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu
anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah,
bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam…” [11].
Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan
ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami
nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita
tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat
warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian
bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani
sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan
syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada
syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita
yang memakainya) pada zatnya [12]
Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru
tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang
dan menyolok.
Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna
hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi
perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian
(berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih
menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat)
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma
melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka
Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita
Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam)
seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13].
Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian
kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif
dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:
1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam
shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang
bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu
Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju
ini sanaah (bagus)”.
Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama
salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15]
maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif
bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid
Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil,
bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu
anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih
kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa
pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa
diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang
telah dewasa.
2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah.
‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil
(tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki
penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma
kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan
ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar
harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna
hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di
atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’
masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur
Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih
kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’
melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang
membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah,
karena alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda
tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.
- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar,
kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh
dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut
dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu
diperbolehkan.
- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana
keterangan imam Ibnu Hajar di atas.
3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa
bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian
seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna
gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di
Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi
‘urf (kebiasaan) masyarakat.
Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan)
masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan
dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting
diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak
boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18]
Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil
syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang
pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa
syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram
dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak
dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti
pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab
sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat
lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan
kekeliruan yang nyata.
Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari
Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah
dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena
dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di
dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan
duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir
dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan
dengan “al-Qur'an” [19].
Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah
Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita
mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa
Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan
sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada
kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah
Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama
Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن
الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
_______
Footnote
[1]. Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[2]. HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[3]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 232).
[4]. Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[5]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[6]. Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[7]. Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8]. Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]. Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10).
[10]. HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
[11]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).
[12]. Ibid (hal. 119).
[13]. Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[14]. No. 3661 dan no. 5485.
[15]. Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[16]. No. 1539.
[17]. Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[18]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman
Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di
majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[19]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris
sa’aadah” (1/227).
[20]. Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih
oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
http://almanhaj.or.id/content/
Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan
disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan
dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di
hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah
memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda,
ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk
tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan
keindahan yang seharusnya disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang
longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan
hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru
semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini
jelas termasuk tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa
tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan,
supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan
keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita
untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka
kepada selain mahram atau suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir
juga disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan
keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang
menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang
dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan
kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi
celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai
dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan
baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini
termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai
oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang
telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat
Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita”
[2]
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan
perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk
sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3],
na’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada
sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk
ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang
terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan
mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain
penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku
memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka
keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di
kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan
tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan
(dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini
telah tersebar merata” [4]
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi,
yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan:
syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin
Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai
berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi
wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam
(dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan
kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari
fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya
sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut
tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu,
‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan
(pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun
simbol-simbol” [5]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau
pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian
luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi)
bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita
yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh
terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal)
dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan
dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh
mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”
[al-Baqarah: 29].
Dan Firman-Nya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam
perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang
mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi
laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal
(menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan
pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum
memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum)
asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian
tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat
hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya),
maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena
pakaian itu menimbulkan fitnah” [6]
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang
dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini
dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas
mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua
maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas
merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian
yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan
menyilaukan mata” [8].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan
keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita
adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas,
dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan
tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian,
sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar
kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya
(perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki),
karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah
dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita
Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj,
nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para
wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan
tidak boleh bagi wanita” [9]
Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk
perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna
selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa
wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua
alasan:
- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum
wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10]
- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu
anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah,
bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam…” [11].
Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan
ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami
nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita
tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat
warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian
bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani
sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan
syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada
syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita
yang memakainya) pada zatnya [12]
Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru
tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang
dan menyolok.
Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna
hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi
perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian
(berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih
menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat)
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma
melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka
Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita
Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam)
seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13].
Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian
kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif
dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:
1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam
shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang
bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu
Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju
ini sanaah (bagus)”.
Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama
salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15]
maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif
bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid
Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil,
bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu
anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih
kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa
pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa
diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang
telah dewasa.
2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah.
‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil
(tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki
penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma
kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan
ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar
harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna
hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di
atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’
masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur
Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih
kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’
melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang
membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah,
karena alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda
tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.
- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar,
kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh
dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut
dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu
diperbolehkan.
- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana
keterangan imam Ibnu Hajar di atas.
3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa
bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian
seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna
gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di
Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi
‘urf (kebiasaan) masyarakat.
Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan)
masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan
dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting
diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak
boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18]
Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil
syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang
pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa
syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram
dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak
dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti
pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab
sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat
lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan
kekeliruan yang nyata.
Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari
Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah
dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena
dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di
dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan
duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir
dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan
dengan “al-Qur'an” [19].
Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah
Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita
mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa
Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan
sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada
kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah
Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama
Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن
الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
_______
Footnote
[1]. Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[2]. HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[3]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 232).
[4]. Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[5]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[6]. Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[7]. Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8]. Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]. Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10).
[10]. HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
[11]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).
[12]. Ibid (hal. 119).
[13]. Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[14]. No. 3661 dan no. 5485.
[15]. Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[16]. No. 1539.
[17]. Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[18]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman
Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di
majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[19]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris
sa’aadah” (1/227).
[20]. Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih
oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
No comments:
Post a Comment