Friday, December 27, 2013

Copas dari Almanhaj
Kategori Bahasan : Syakhshiyah

Abdurrahman Bin Auf (Sahabat Yang Sangat Dermawan)

Kamis, 26 Desember 2013 05:48:08 WIB
ABDURRAHMAN BIN AUF (SAHABAT YANG SANGAT DERMAWAN)


Salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapat rekomendasi masuk surga adalah `Abdurrahmân bin `Auf bin `Abdi `Auf bin `Abdil Hârits Bin Zahrah bin Kilâb bin al-Qurasyi az-Zuhri Abu Muhammad. Dia juga salah seorang dari enam orang Sahabat Radhiyallahu anhum yang ahli syura. Dia dilahirkan kira-kira sepuluh tahun setelah tahun Gajah dan termasuk orang yang terdahulu masuk Islam. Dia berhijrah sebanyak dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan lainnya. Saat masih jahilillah, ia bernama `Abdul Ka`bah atau `Abdu `Amr; kemudian diberi nama `Abdurrahmân oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Ibunya bernama Shafiyah. Sedangkan ayahnya bernama `Auf bin `Abdu `Auf bin `Abdul Hârits bin Zahrah.[2]

`Abdurrahmân bin `Auf adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat dermawan dan yang sangat memperhatikan dakwah Islam, berikut ini adalah sebagian kisahnya:

`Abdurrahman bin Auf pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar, kemudian membagi-bagikan uang tersebut kepada para fakir miskin bani Zuhrah, orang-orang yang membutuhkan dan kepada Ummahâtul Mukminin (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Al-Miswar berkata: “Aku mengantarkan sebagian dari dinar-dinar itu kepada Aisyah Radhiyallahu anhuma. Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan sebagian dinar-dinar itu." Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Siapa yang telah mengirim ini?" Aku menjawab: "`Abdurrahmân bin Auf". Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata lagi: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Tidak ada yang menaruh simpati kepada kalian kecuali dia termasuk orang-orang yang sabar. Semoga Allah Azza wa Jalla memberi minum kepada `Abdurrahmân bin Auf dengan minuman surge [3]””

Dalam hadits lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan (sesuatu) kepada sekelompok Sahabat Radhiyallahu anhum yang di sana terdapat `Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu ; namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberikan apa pun kepadanya. Kemudian `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu keluar dengan menangis dan bertemu Umar Radhiyallahu anhu . Umar Radhiyallahu anhu bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sesuatu kepada sekelompok Sahabat, tetapi tidak memberiku apa-apa. Aku khawatir hal itu akibat ada suatu keburukan padaku”. Kemudian Umar Radhiyallahu anhu masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keluhan `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: ‘Aku tidak marah kepadanya, tetapi cukup bagiku untuk mempercayai imannya.[4]”

Keutamaan-Keutamaan `Abdurrahmân bin Auf di antaranya:
`Abdurrahmân bin `Auf walaupun memiliki harta yang banyak dan menginfakkanya di jalan Allah Azza wa Jalla , namun dia selalu mengintrospeksi dirinya. `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu pernah mengatakan : “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diuji dengan kesempitan, namun kami pun bisa bersabar, kemudian kami juga diuji dengan kelapangan setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami pun tidak bisa sabar”[5]

Suatu hari `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu diberi makanan, padahal dia sedang berpuasa. Ia mengatakan, “Mush`ab bin Umair telah terbunuh, padahal dia lebih baik dariku. Akan tetapi ketika dia meninggal tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah (apabila kain itu ditutupkan di kepala, kakinya menjadi terlihat dan apabila kakinya ditutup dengan kain itu, kepalanya menjadi terlihat). Demikian pula dengan Hamzah, dia juga terbunuh, padahal dia lebih baik dariku. Ketika meninggal, tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah. Aku khawatir balasan kebaikan-kebaikanku diberikan di dunia ini. Kemudian dia menangis lalu meninggalkan makanan tersebut.[6]”

Senada dengan kisah di atas, Naufal bin al-Hudzali berkata, “ Dahulu `Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu teman bergaul kami. Beliau adalah sebaik-baik teman. Suatu hari dia pulang ke rumahnya dan mandi. Setelah itu dia keluar, ia datang kepada kami dengan membawa wadah makanan berisi roti dan daging, dan kemudian dia menangis. Kami bertanya, “ Wahai Abu Muhammad (panggilan `Abdurrahmân), apa yang menyebabkan kamu menangis?” Ia menjawab, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dalam keadaan beliau dan keluarganya belum kenyang dengan roti syair. Aku tidak melihat kebaikan kita diakhirkan.[7]

`Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Umar bin Kaththâb Radhiyallahu anhu pergi ke Syam. Ketika sampai Sarghin (nama sebuah desa di batas Syam setelah Hijâz), ia berjumpa dengan penduduk al-Ajnad yaitu Abu Ubâdah dan para sahabatnya. Mereka memberitahu bahwa wabah penyakit telah berjangkit di Syam. Umar Radhiyallahu anhu berkata : ‘Panggilkan aku para Muhajirin yang awal (berhijrah)!’ Aku (`Abdullâh bin Abbâs-red) pun memanggil mereka. Umar Radhiyallahu anhu memberitahu dan meminta pendapat mereka tentang wabah tersebut. Kemudian mereka berselisih, sebagian mengatakan : “Engkau telah keluar untuk suatu tujuan. Menurut pendapat kami, engkau jangan mundur." Sedangkan sebagian lain mengatakan : “Engkau bersama banyak orang dan bersama para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka kami berpendapat agar tidak membiarkan mereka terkena wabah." Umar Radhiyallahu anhu berkata lagi : “Panggilkan para Anshar untukku”. Akupun memanggil mereka. Kemudian Umar Radhiyallahu anhu meminta pendapat kepada mereka dan mereka sama dengan pendapat para kaum Muhajirin yaitu mereka juga berbeda pendapat. Lalu Umar Radhiyallahu anhu berkata: “Panggilkan orang-orang tua Quraisy dari orang yang hijrah ketika fathu Mekah, yang berada di sini." Akupun memanggil mereka dan tidak ada seorangpun yang berselisih. Mereka mengatakan, “Pendapat kami, sebaiknya kamu membawa kembali orang-orang dan tidak membiarkan mereka terkena wabah." Kemudian Umar Radhiyallahu anhu berkata kepada orang-orang, “Sebaiknya kita kembali." Dan merekapun setuju dengannya. Abu Ubaidah bin Jarrâh Radhiyallahu anhu mengatakan, “Apa kita berusaha berlari dari takdir Allah Azza wa Jalla ?" Umar Radhiyallahu anhu menjawab, “Seandainya selainmu mengucapkan hal itu, wahai Abu Ubaidah. Ya, kami berlari dari takdir Allah Azza wa Jalla menuju takdir Allah Azza wa Jalla yang lain. Kemudian datanglah `Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu dan mengatakan: "Dalam hal ini, aku memiliki ilmunya. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ

Jika kalian mendengar (ada wabah) di suatu negeri, maka janganlah kalian mendatanginya. Dan apabila wabah terjadi di suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar/lari darinya. [HR. Bukhâri no. 5398] [8]

Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , `Abdurrahmân bin `Auf Radhiyallahu anhu pernah menyedekahkan separuh hartanya. Setelah itu dia bersedekah lagi sebanqak 40.000 dinar. Kebanyakan harta bendanya diperoleh dari hasil perdagangan [9].

Ja`far bin Burqan mengatakan, “ Telah sampai kabar kepadaku bahwa `Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu telah memerdekakan 3000 orang.[10]

Imam Bukhâri menyebutkan dalam kitab tarikhnya bahwa `Abdurrahmân pernah memberikan wasiat kepada semua Sahabat yang mengikuti perang badar dengan 400 dinar. Dan jumlah mereka ketika itu 100 orang.[11]

Dia meninggal dunia pada tahun 32 H. Dia berumur 72 tahun dan dia dikubur di pemakaman baqi` dan `Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu ikut menyalatkannya.[12]

Demikian selintas kisah tentang seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat kaya, seorang konglomerat pada jamannya, namun amat sangat dermawan. Semoga menjadi tauladan bagi kita semua. Wallâhu a`lam

Referensi:
1. Ash-Shahâbah, Syaikh Shâlih bin Thaha `Abdul Wâhid, Maktabah al-Ghurabâ`, Dâr al-Atsariyah, cet. Ke-1 tahun 1427H
2. Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, Ibnu Hajar al-Asqalâni, tahqîq: Khalîl Makmûn Syîha, Dârul Makrifah, Beirut
3. Fadhâilush Shahâbah Lil Imâm Ahmad, Dâr Ibnul Jauzi cet. ke-2 tahun 1420 M

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Fadhâilus Shahâbah, Imam Ahmad hlm 908
[2]. Ash-Shahîhul Musnad Min Fadhâilis Shahâbah hlm 173
[3]. Fadhâilus Shahâbah, Imam Ahmad, hlm 909
[4]. Fadhâilus Shahâbah, Imam Ahmad, hlm 908
[5]. ash-Shahâbah, hlm 252
[6]. ash-Shahâbah, hlm 253
[7]. al-Ishâbah 2/1183
[8]. ash-Shahâbah, hlm 251
[9]. al-Ishâbah, hlm 1182
[10]. al-Ishâbah, hlm 1183
[11]. al-Ishâbah, hlm 1184
[12]. al-Ishâbah,hlm 1184
 

Monday, September 23, 2013

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Lail

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Lail (Malam)
Surah Makkiyyah; Surah ke 92: 21 ayat

“1. demi malam apabila menutupi (cahaya siang), 2. dan siang apabila terang benderang, 3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan, 4. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), 7. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. 8. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9. serta mendustakan pahala terbaik,10. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.11. dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (al-Lail: 1-11)
Allah telah bersumpah: wal laili idzaa yaghsyaa (“Demi malam apabila menutupi [cahaya siang]”) yakni apabila menutupi makhluk dengan kegelapannya. Wan naHaari idzaa tajallaa (“Dan siang apabila terang benderang”) yakni dengan cahaya dan sinarnya. Wamaa khalaqadz dzakara wal untsaa (“Dan penciptaan laki-laki dan perempuan.”) yang demikian itu  sama seperti firman Allah: wa ming kulli syai-in khalaqnaa zaujaini (“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan.”)(adz-Dzaariyaat: 49). Ketika sumpah itu menggunakan hal-hal yang saling bertentangan, maka yang disumpahkanpun  juga saling bertentangan [berlawanan]. Oleh Karena itu Dia berfirman: inna sa’yakum lasyattaa (“Sesungguhnya usahamu memang berbeda-beda.”) yakni berbagai amal perbuatan hamba-hamba-Nya yang mereka kerjakan saling bertentangan dan juga bertolak belakang, dimana ada yang berbuat kebaikan dan ada juga yang berbuat keburukan.
Firman Allah: “Fa ammaa man a’thaa wattaqaa (“Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa). Yakni mengeluarkan apa yang diperintahkan untuk dikeluarkan  dan berakwa kepada Allah dalam segala urusannya. Wa shaddaqa bil husnaa (“Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik.”) yakni diberi balasan atas semuanya itu. Demikian yang dikemukakan oleh Qatadah. Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yaitu dengan peninggalan.” Abu ‘Abdirrahman as-Sulami dan adl-Dlahhak mengatakana: “Yaitu dengan kalimat laa ilaaHa illallaaHu (tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata, aku pernah  bertanya kepada Rasulullah saw. Mengenai  kata al husnaa, maka beliau menjawab: “Al husnaa berarti syurga.”
Firman-Nya: fasanuyassiruHuu lil yusraa (“Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yakni menuju kepada kebaikan.”
Wa ammaa mam bakhila was taghnaa (“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.”) ‘Ikrimah berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni kikir terhadap hartanya dan tidak membutuhkan Rabb-nya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Wakadzdzaba bil husnaa (“Serta mendustakan pahala yang terbaik.”) yakni mendustakan pahala di alam akhirat kelak. fasanuyassiruHuu lil ‘usraa (“Maka kelak kami akan menyiapkan baginya [jalan] yang sukar.”  Yakni jalan keburukan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala yang artinya: “dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (al-An’am: 110)
Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang pengertian ini cukup banyak yang menunjukkan bahwa Allah akan memberi balasan kepada orang yang menuju kepada kebaikan berupa taufiq untuk mengarah kepadanya. Dan barangsiapa menuju kepada keburukan, akan diberi balasan berupa kehinaan. Semuanya itu sesuai dengan takdir yang ditetapkan.
Dan hadits-hadits yang menunjukkan pengertian itu juga cukup banyak. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, dia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah saw. di kuburan Baqi’ al Gharqad untuk mengantar jenazah, beliau bersabda: ‘Tidak ada seorangpun di antara kalian melainkan telah ditetapkan tempat duduknya di surga dan tempatnya di neraka.’ Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak pasrah saja?’ Beliau menjawab: ‘Beramallah kalian, karena masing-masing akan diberikan kemudahan menuju kepada apa yang diciptakan untuknya.’ Setelah itu beliau membaca ayat: “Fa ammaa man a’thaa wattaqaa Wa shaddaqa bil husnaa. fasanuyassiruHuu lil yusraa   (“Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. –sampai pada firman-Nya: “baginya jalan yang sukar.”)
Ibnu Jarir mengatakan: “Dan disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar ash-Shidiq: “Fa ammaa man a’thaa wattaqaa Wa shaddaqa bil husnaa. fasanuyassiruHuu lil yusraa   (“Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”)
Firman Allah: wa maa yughnii ‘anHu maa luHuu didzaa taraddaa (“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”) Mujahid mengatakan: “Yakni jika dia mati.” Abu Shalih dan Malik berkata dari Zaid bin Aslam: “Yakni, jika telah binasa di dalam Neraka.”
“12. Sesungguhnya kewajiban kamilah memberi petunjuk, 13. dan Sesungguhnya kepunyaan kamilah akhirat dan dunia.14. Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.15. tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).17. dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,19. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,20. tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.21. dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail: 12-21)
Innaa ‘alainaa lalHudaa (“Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk.”) mengenai ayat ini Qatadah mengatakan: “Yakni Kami jelaskan yang halal dan yang haram.” Sedang yang lainnya mengungkapkan: “Barangsiapa menempuh jalan petunjuk, niscaya dia akan sampai kepada Allah.”  Dan menjadikannya seperti firman Allah Ta’ala: wa ‘alallaaHi qashdus sabiil (“Dan hak bagi Allah [menerangkan] jalan yang lurus.”) (an-Nahl: 9). Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Dan firman Allah: wa inna lanaa lal aakhirata wal uulaa (“Dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia.”) maksudnya, segala sesuatu adalah milik Kami dan Kami mengendalikannya. Fa andzartukum naaran taladzdzaa (“Maka Kami memperingatkanmu dengan Neraka yang menyala-nyala.” Mujahid mengatakan: “yakni berkobar-kobar.” Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, Syu’bah memberitahuku, Abu Ishaq memberitahuku, aku pernah mendengar an-Nu’man bin Basyir berkhutbah seraya berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksaannya adalah orang yang pada kedua telapak kakinya diletakkan dua bara api yang keduanya membuat otaknya mendidih.” (al-Bukhari)
Firman Allah: laa yashlaaHaa illal asyqaa (“Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka.”) yakni tidak ada yang memasukinya dengan dikepung api dari semua penjuru melainkan orang yang paling celaka. Kemudian Allah menafsirkan ayat tersebut seraya berfirman: alladzii kadzdzaba (“Yang mendustakan.”) yakni dengan hatinya, wa tawallaa (“dan berpaling”) yakni dari amal dengan seluruh anggota tubuhnya dan rukun-rukunnya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap umatku akan masuk surga pada hari kiamat kelak, kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa menaatiku maka ia masuk surga dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti dia telah enggan.” (HR al-Bukhari)
Firman Allah: wa sayujannabuHal atqaa (“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu.”) maksudnya, akan dijauhkan dari api neraka orang yang benar-benar bertakwa dan orang yang paling menjaga diri.  Selanjutnya, Dia menafsirkannya  melalui firman-Nya: alladzii yu’tii maalaHuu yatazakkaa (“Yang menafkahkan hartanya [di jalan Allah] untuk membersihkannya.”) yakni membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada Rabb-nya  untuk mensucikan diri, harta dan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya berupa agama dan dunia. Wa maa li ahadin ‘indaHuu min ni’matig tujzaa (“Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya  yang harus dibalasnya.”) maksudnya, dia tidak mengeluarkan hartanya itu untuk balasan bagi orang yang telah berbuat [baik] kepadanya. Dia berikan harta itu kepadanya sebagai imbalan atasnya. Tetapi dia berikan harta itu, illabtighaa-a wajHi rabbiHil a’laa (“Karena mencari keridhaan Rabb-nya yang Mahatinggi”) yakni karena keinginan keras untuk bisa melihat-Nya di akhirat kelak, di taman-taman surga.
Allah berfirman: wa lasaufa yardlaa (“Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan”) maksudnya Dia akan meridlai orang yang mensifati diri dengan sifat-sifat tersebut. Lebih dari satu orang mufassir yang menyebutkan bahwa ayat-ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar bahkan ada sebagian mereka yang mengisahkan ijma’ dari para ahli tafsir mengenai hal tersebut. Dan tidak diragukan lagi bahwa beliau pasti akan masuk ke dalam ayat tersebut sekaligus sebagai ummat terbaik dari umat secara keseluruhan karena lafazhnya  adalah lafazh umum. Dan di dalam kitab ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menginfakkan sepasang harta di jalan Allah, maka malaikat penjaga surga  akan memanggilnya: ‘Wahai hamba Allah, yang demikian itu sangatlah baik.’”  Kemudian Abu bakar bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa yang dipanggil darinya dalam keadaan darurat, apakah akan dipanggil seseorang darinya secara keseluruhan?” Beliau menjawab: “Ya, aku berharap engkau termasuk salah seorang di antara mereka.”
BERN, KOMPAS.com - Sebuah daerah berbahasa Italia di Swiss memutuskan untuk melarang perempuan mengenakan burka atau kerudung yang menutup seluruh wajah.

Keputusan ini diambil dari hasil referendum yang digelar pada Minggu (22/9/2013).

Radio Swiss berbahasa Italia RSI mengatakan hasil referendum di kanton Ticino itu menunjukkan 65 persen pemberi suara mendukung larangan penggunaan burka di ruang publik bagi siapa saja, termasuk untuk perempuan Muslim.

Meski tidak mengarah langsung ke komunitas Muslim, namun referendum yang disebut sebagai inisiatif anti-burka itu mengundang kecaman berbagai kalangan.

Referendum ini dianggap sebagai langkah kelompok yang kerap mengkritik Islam dan sudah diprotes komunitas Muslim Swiss dan Amnesti Internasional.

Jika larangan penggunaan burka ini diterima, maka ini adalah kali pertama sebuah kanton Swiss, setara dengan negara bagian, menerapkan larangan ini.

Pada 2009, Swiss dikecam umat Muslim dan pendukung kebebasan beragama setelah menggelar referendum nasional yang akhirnya memicu pelarangan pembangunan sebuah menara masjid di negeri itu.

Referendum adalah basis dari demokrasi Swiss. Warga negara atau sebuah kelompok bisa mendesakkan referendum jika mendapatkan cukup tanda tangan dari pendukungnya.

Tuesday, July 2, 2013

Hasan al Bashri Ra

Hasan al-Bashri Radhiallahu ‘Anhu

May 30, 2012  //  Kisah NyataKisah Tabi'in  //  4 Comments
al-hasan
Beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashri, salah satu imam tabi’in terkemuka yang ucapan hikmahnya menyerupai perkataan seorang nabi, seorang yang kafah dan rupawan yang telah menghabiskan seluruh umurnya untuk ilmu dan amal.
Nama ayah beliau adalah al-Yasar maula Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu sahabat pilihan dan penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, ibu beliau adalah Khoiroh maula Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau lahir di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, tepatnya dua tahun terakhir beliau menjadi khalifah.
Kelahiran al-Hasan sangat menggembirakan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahkan sang ibunda (Khoiroh) menyerahkan kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha untuk memberikan nama pada anaknya. Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu pun memberi nama dengan nama yang beliau senangi, al-Hasan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha begitu sangat mencintai al-Hasan sehingga takala sang ibu keluar untuk memenuhi hajat ummul mukminin, maka beliaulah yang mengasuh, mendiamkan tangisnya bila ia menangis, bahkan ia menyusuinya. Karena besarnya kasih sayang Ummu Salamah radhiallahu ‘anhakepada al-Hasan hingga air susunya keluar membasahi kerongkongannya sehingga Ummu Salamahradhiallahu ‘anha menjadi ibu susuan al-Hasan setelah sebelumnya ia adalah ibu bagi seluruh kaum muslimin. Maka tinggallah ia di bawah kepengasuhan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak ilmunya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kurang lebih sebanyak 387 hadis telah ia hafal dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang wanita yang mampu baca tulis sejak masa jahiliah sehingga al-Hasan kelak akan menjadi seorang pemuda yang gagah, rupawan, dan pemberani yang akan mewarisi warisan nubuwwah berupa ilmu dan amal.
Demikian pula kegembiraan itu tampak pada keluarga Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu karena al-Yasar adalah orang yang sangat ia cintai.
Setelah al-Hasan mencapai usia baligh, ia dan keluarganya pindah ke Bashrah sehingga ia dikenal sebagai al-Hasan al-Bashri.
Al-Imam AAdz-Dzahabi berkata, “Al-Hasan adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan pemberani.”

Pujian Ulama Kepada Hasan al-Bashri

Setelah al-Hasan tumbuh menjadi seorang pemuda. Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kecerdasan kepadanya, maka beliau menimba ilmu kepada para sahabat kibar (senior) seperti Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan sejumlah sahabat kibar lainnya radhiallahu ‘anhum. Dengan kemapanan ilmu dan kesungguhan dalam ibadah hal itu semakin menambah keutamaan bagi al-Hasan. Sehingga tidak heran bila Qotadah mengatakan, “Al-Hasan adalah orang yang paling mengetahui tentang halal dan haram.”
Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih serupa dengan para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding beliau.”
Humaid bin Hilal berkata, “Suatu hari Abu Qotadah berwasiat kepada kami, “Tekunilah Syaikh ini, karena aku tidak melihat seorang yang pendapat-pendapatnya lebih mirip dengan pendapatnya Umar selain beliau.”
Anas bin Malik berkata, “Bertanyalah kalian kepada al-Hasan, karena beliau selalu ingat tatkala kami lupa.”
Potret Ibadah Beliau
Ibrahim bin Isa al-Yaskuri berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang selalu berada dalam kesedihan (takut akhirat ed.) kecuali al-Hasan. Aku tidak melihatnya melainkan seperti seorang yang baru terkena musibah.”
As-Surri bin Yahya berkata, “Adalah al-Hasan selalu berpuasa bidh, puasa pada bulan-bulan haram (mulia), demikian juga puasa Senin dan Kamis.”
Dari Syu’aib ia berkata, “Aku pernah melihat al-Hasan tengah membaca Alquran sedang ia menangis sampai mengalir air matanya membasahi jenggotnya.”
Sikap Beliau Terhadap Fitnah
Di kala itu, kepemimpinan kaum muslimin jatuh ke tangan seorang pemimpin zalim, al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Karena kezalimannya banyak kaum muslimin yang dibunuh secara zalim. Sebagian orang tidak sabar melihat kekejaman dan kezaliman pemimpin mereka itu di saat mereka seharusnya memberikan ketaatannya kepada kholifah kaum muslimin. Di antara mereka adalah sebagian kelompok yang dipimpin oeh Ibnu Asy’ats yang tengah merekrut dan menyusun kekuatan untuk mengkudeta pemimpin mereka al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Di tengah gejolak fitnah besar yang merata semacam itu, seorang muslim akan diuji siapakah di antara mereka yang tetap berada dalam jalan selamat yang ditunjukkan oleh syariat dan tampaklah orang-orang yang tidak sabar lalu meninggalkan syariat. Oleh karena itu, mari kita menimba ilmu dari seorang alim tabi’in tentang bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi fitnah.
Dari Sulaiman bin Ali ar-Rab’i ia berkata, “Tatkala terjadi fitnah Ibnu Asy’ats yang hendak meemrangi al-Hajjaj, pergilah Uqbah bin Abdil Ghafir, Abul Jauza, dan Abdullah bin Ghlalib untuk menemui al-Hasan dan meminta fatwa kepada beliau. Mereka memerangi seorang thaghut ini (al-Hajjaj bin Yusuf, pen.) yang telah menumpahkan darah yang haram untuk ditumpahkan, dan merampas harta yang haram untuk dirampas, telah meninggalkan shalat, dan telah melakukan ini dan itu…’ (Mereka menyebutkan semua tindak-tanduk dari al-Hajjaj bin Yusuf). Lalu al-Hasan berkata, ‘Namun, aku berpendapat kalian jangan memeranginya. Karena kalaulah ia adalah suatu hukuman untuk kalian, maka sekali-kali kalian tidak akan mampu menolak hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pedang-pedang kalian, namun bila ia adalah musibah dan ujian untuk kalian, maka bersabarlah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukum kepada kalian dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik yang memutuskan hukum.’ Namun, mereka tidak menggubris perkataan al-Hasan bahkan mengatakan, ‘Apakah kita akan menaati perkataan keledai liar itu..!? (Hajaj)’ Mereka pun tetap nekad keluar bersama Ibnu Asy’ats hingga akhirnya mereka terbunuh semua.”
Beliau juga mengatakan, “Seandainya manusia tatkala diuji dari sisi pemimpinnya mereka mau bersabar, tentu mereka akan mendapat jalan keluarnya. Namun, mereka begitu tergesa-gesa menghunus pedang-pedang mereka. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah mereka datang dengan membawa kebaikan.”

Beberapa Perkataan Mutiara Hasan al-Bashri

Dari Imran bin Khalid bahwa al-Hasan radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Mukmin yang sesungguhnya adalah yang selalu merasa sedih baik di kala pagi maupun sore, karena dia akan selalu di antara dua rasa takut, antara dosa yang sebelumya telah ia perbuat sedang ia tidak atahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perbuat kepadanya dan ajal yang akan menjemputnya yang juga ia tidak tahu apa yang akan menimpanya dari kebinasaan.”
Dari Hazm bin Abi Hazm ia mengatakan, “Aku pernah mendengar al-Hasan berkata, ‘Sungguh jelek dua sahabat ini yaitu dinar dan dirham, karena keduanya tidak akan memberi manfaat kepadamu sampai keduanya berpisah darimu’.”
Beliau juga mengatakan, “Tidaklah seorang yang memuliakan dirham kecuali Allah Subhanahu wa Ta’alaakan menghinakannya.”
Dari Zuraik bin Abi Zuraik ia berkata bahwa al-Hasan pernah mengatakan, “Sesungguhnya fitnah apabila datang maka akan diketahui oleh setiap yang alim dan apabila ia lenyap baru diketahui oleh setiap yang jahil.”
Wafatnya Beliau
Dari Abdul Wahid bin Maimun maulah Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Datang seorang kepada Ibnu Sirin seraya mengatakan, ‘Aku bermimpi melihat seekor burung mengambil kerikilnya al-Hasan di masjid.’ Lalu Ibnu Sirin berkata, ‘Seandainya yang kamu ucapkan benar maka berarti al-Hasan akan meninggal dunia.’ Tidak berselang lama lalu meninggallah al-Hasan.”
Dari Hisyam bin Hassan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Muhammad bin Sirin pada sore hari di hari Kamis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki selepas shalat Asar seraya mengabarkan bahwa al-Hasan telah meninggal dunia, maka Muhammad bin Sirin mendoakannya dan sepontan raut mukanya berubah kemudian diam seribu basaha. Beliau tidak berbicara sampai tenggelam matahari.”
Al-Hasan al-Bashri meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 110 H dalam usia 88 tahun. Jenazahnya disaksikan oleh semua orang. Ia dishalatkan setelah selesainya shalat Jumat di Bashrah, dan orang-orang berdesak-desakan sampai-sampai shalat Asar tidak ditegakkan di masjid jami’ tersebut.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Hasan al-Bashri dengan rahmat yang luas dan memasukkan kita semuanya ke surga-Nya yang tinggi yang buah-buahnya begitu dekat untuk diraih. Amin.
Mutiara Teladan
Beberapa teladan yang dapat kita petik dari imam besar ini di antaranya.
  1. Kegagahan dan ketampanan serta nasab bukanlah tolok ukur keutamaan seseorang. Ketakwaan, ilmu, dan amal seseorang itulah yang menjadi landasan penilaian keutamaan.
  2. Kewajiban rakyat adalah tetap wajib menaati pemimpinnya, sekalipun mereka berbuat zalim kepada kita, selama mereka tetap muslim dan melaksanakan shalat, karena hal itu membawa maslahat yang lebih umum, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada umatnya dalam mengahdapi pemimpin yang zalim: “Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat kepada pemimpin sekalipun ia menzalimimu dan mengambil hartamu, maka tetaplah kalian wajib mendengar dan menaatinya,” (HR. Muslim)
  3. Sikap seorang mukmin tatkala terjadi fitnah adalah bersikap wara’ dan menjauhkan diri dari fitnah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita tentang hal ini dalam sabdanya,
Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih utama dari orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, dan orang yang berjalan masih lebih baik dari yang memiliki andi di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi: 4/486)
Maka jalan yang selamat tatkala terjadi fitnah adalah berusaha menjauhkan diri dari fitnah sejauh-jauhnya dan jangan sekali-kali menceburkan diri dalam fitnah tersebut karena hal itu berarti kebinasaan. Wallahul muwaffiq.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H