Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Lail (Malam)
Surah Makkiyyah; Surah ke 92: 21 ayat
“1. demi malam apabila menutupi (cahaya siang), 2. dan siang apabila terang benderang, 3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan, 4. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), 7. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. 8. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9. serta mendustakan pahala terbaik,10. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.11. dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (al-Lail: 1-11)
Allah telah bersumpah: wal laili idzaa yaghsyaa (“Demi malam apabila menutupi [cahaya siang]”) yakni apabila menutupi makhluk dengan kegelapannya. Wan naHaari idzaa tajallaa (“Dan siang apabila terang benderang”) yakni dengan cahaya dan sinarnya. Wamaa khalaqadz dzakara wal untsaa (“Dan penciptaan laki-laki dan perempuan.”) yang demikian itu sama seperti firman Allah: wa ming kulli syai-in khalaqnaa zaujaini (“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan.”)(adz-Dzaariyaat: 49). Ketika sumpah itu menggunakan hal-hal yang saling bertentangan, maka yang disumpahkanpun juga saling bertentangan [berlawanan]. Oleh Karena itu Dia berfirman: inna sa’yakum lasyattaa (“Sesungguhnya usahamu memang berbeda-beda.”) yakni berbagai amal perbuatan hamba-hamba-Nya yang mereka kerjakan saling bertentangan dan juga bertolak belakang, dimana ada yang berbuat kebaikan dan ada juga yang berbuat keburukan.
Firman Allah: “Fa ammaa man a’thaa wattaqaa (“Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa). Yakni mengeluarkan apa yang diperintahkan untuk dikeluarkan dan berakwa kepada Allah dalam segala urusannya. Wa shaddaqa bil husnaa (“Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik.”) yakni diberi balasan atas semuanya itu. Demikian yang dikemukakan oleh Qatadah. Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yaitu dengan peninggalan.” Abu ‘Abdirrahman as-Sulami dan adl-Dlahhak mengatakana: “Yaitu dengan kalimat laa ilaaHa illallaaHu (tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Mengenai kata al husnaa, maka beliau menjawab: “Al husnaa berarti syurga.”
Firman-Nya: fasanuyassiruHuu lil yusraa (“Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yakni menuju kepada kebaikan.”
Wa ammaa mam bakhila was taghnaa (“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.”) ‘Ikrimah berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni kikir terhadap hartanya dan tidak membutuhkan Rabb-nya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Wakadzdzaba bil husnaa (“Serta mendustakan pahala yang terbaik.”) yakni mendustakan pahala di alam akhirat kelak. fasanuyassiruHuu lil ‘usraa (“Maka kelak kami akan menyiapkan baginya [jalan] yang sukar.” Yakni jalan keburukan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala yang artinya: “dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (al-An’am: 110)
Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang pengertian ini cukup banyak yang menunjukkan bahwa Allah akan memberi balasan kepada orang yang menuju kepada kebaikan berupa taufiq untuk mengarah kepadanya. Dan barangsiapa menuju kepada keburukan, akan diberi balasan berupa kehinaan. Semuanya itu sesuai dengan takdir yang ditetapkan.
Dan hadits-hadits yang menunjukkan pengertian itu juga cukup banyak. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, dia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah saw. di kuburan Baqi’ al Gharqad untuk mengantar jenazah, beliau bersabda: ‘Tidak ada seorangpun di antara kalian melainkan telah ditetapkan tempat duduknya di surga dan tempatnya di neraka.’ Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak pasrah saja?’ Beliau menjawab: ‘Beramallah kalian, karena masing-masing akan diberikan kemudahan menuju kepada apa yang diciptakan untuknya.’ Setelah itu beliau membaca ayat: “Fa ammaa man a’thaa wattaqaa Wa shaddaqa bil husnaa. fasanuyassiruHuu lil yusraa (“Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. –sampai pada firman-Nya: “baginya jalan yang sukar.”)
Ibnu Jarir mengatakan: “Dan disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar ash-Shidiq: “Fa ammaa man a’thaa wattaqaa Wa shaddaqa bil husnaa. fasanuyassiruHuu lil yusraa (“Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”)
Firman Allah: wa maa yughnii ‘anHu maa luHuu didzaa taraddaa (“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”) Mujahid mengatakan: “Yakni jika dia mati.” Abu Shalih dan Malik berkata dari Zaid bin Aslam: “Yakni, jika telah binasa di dalam Neraka.”
“12. Sesungguhnya kewajiban kamilah memberi petunjuk, 13. dan Sesungguhnya kepunyaan kamilah akhirat dan dunia.14. Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.15. tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).17. dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,19. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,20. tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.21. dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail: 12-21)
Innaa ‘alainaa lalHudaa (“Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk.”) mengenai ayat ini Qatadah mengatakan: “Yakni Kami jelaskan yang halal dan yang haram.” Sedang yang lainnya mengungkapkan: “Barangsiapa menempuh jalan petunjuk, niscaya dia akan sampai kepada Allah.” Dan menjadikannya seperti firman Allah Ta’ala: wa ‘alallaaHi qashdus sabiil (“Dan hak bagi Allah [menerangkan] jalan yang lurus.”) (an-Nahl: 9). Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Dan firman Allah: wa inna lanaa lal aakhirata wal uulaa (“Dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia.”) maksudnya, segala sesuatu adalah milik Kami dan Kami mengendalikannya. Fa andzartukum naaran taladzdzaa (“Maka Kami memperingatkanmu dengan Neraka yang menyala-nyala.” Mujahid mengatakan: “yakni berkobar-kobar.” Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, Syu’bah memberitahuku, Abu Ishaq memberitahuku, aku pernah mendengar an-Nu’man bin Basyir berkhutbah seraya berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksaannya adalah orang yang pada kedua telapak kakinya diletakkan dua bara api yang keduanya membuat otaknya mendidih.” (al-Bukhari)
Firman Allah: laa yashlaaHaa illal asyqaa (“Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka.”) yakni tidak ada yang memasukinya dengan dikepung api dari semua penjuru melainkan orang yang paling celaka. Kemudian Allah menafsirkan ayat tersebut seraya berfirman: alladzii kadzdzaba (“Yang mendustakan.”) yakni dengan hatinya, wa tawallaa (“dan berpaling”) yakni dari amal dengan seluruh anggota tubuhnya dan rukun-rukunnya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap umatku akan masuk surga pada hari kiamat kelak, kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa menaatiku maka ia masuk surga dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti dia telah enggan.” (HR al-Bukhari)
Firman Allah: wa sayujannabuHal atqaa (“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu.”) maksudnya, akan dijauhkan dari api neraka orang yang benar-benar bertakwa dan orang yang paling menjaga diri. Selanjutnya, Dia menafsirkannya melalui firman-Nya: alladzii yu’tii maalaHuu yatazakkaa (“Yang menafkahkan hartanya [di jalan Allah] untuk membersihkannya.”) yakni membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada Rabb-nya untuk mensucikan diri, harta dan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya berupa agama dan dunia. Wa maa li ahadin ‘indaHuu min ni’matig tujzaa (“Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya.”) maksudnya, dia tidak mengeluarkan hartanya itu untuk balasan bagi orang yang telah berbuat [baik] kepadanya. Dia berikan harta itu kepadanya sebagai imbalan atasnya. Tetapi dia berikan harta itu, illabtighaa-a wajHi rabbiHil a’laa (“Karena mencari keridhaan Rabb-nya yang Mahatinggi”) yakni karena keinginan keras untuk bisa melihat-Nya di akhirat kelak, di taman-taman surga.
Allah berfirman: wa lasaufa yardlaa (“Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan”) maksudnya Dia akan meridlai orang yang mensifati diri dengan sifat-sifat tersebut. Lebih dari satu orang mufassir yang menyebutkan bahwa ayat-ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar bahkan ada sebagian mereka yang mengisahkan ijma’ dari para ahli tafsir mengenai hal tersebut. Dan tidak diragukan lagi bahwa beliau pasti akan masuk ke dalam ayat tersebut sekaligus sebagai ummat terbaik dari umat secara keseluruhan karena lafazhnya adalah lafazh umum. Dan di dalam kitab ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menginfakkan sepasang harta di jalan Allah, maka malaikat penjaga surga akan memanggilnya: ‘Wahai hamba Allah, yang demikian itu sangatlah baik.’” Kemudian Abu bakar bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa yang dipanggil darinya dalam keadaan darurat, apakah akan dipanggil seseorang darinya secara keseluruhan?” Beliau menjawab: “Ya, aku berharap engkau termasuk salah seorang di antara mereka.”
No comments:
Post a Comment