Nyanyian dan Musik Dalam Islam
Posted by Admin pada 18/07/2009
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ketahuilah
bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik
pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula
seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu ‘anhuma)
Hati
bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan
tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota
badan.
Seandainya
kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian
dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al
Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan
kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan
musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi
seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan
mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau
lesbian) dan zina.
Kalaupun
mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka
dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila
dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan
segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan
perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai,
tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat
kerinduan dalam dirinya pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :
Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.
Namun,
kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada
orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela
dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak
tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Dan
alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk
memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang
jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan
gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.
Dan
tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa
petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih
menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui
Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)
Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al
ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang
semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al Qamus
(halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”
Imam
Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada
yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur
tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian
pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al
hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus
halaman 127)
Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.
Dalam
Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat
musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath
thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan
duf-duf.
Dikatakan
pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang
memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam
Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas
definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat
musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau
syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain.
(Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’
Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :
Nyanyian yang pertama,
seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia
sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan
sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan
bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan
kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh
yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh
sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati
mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan
mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’
halaman 47-49)
Disebutkan
pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat
atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang
diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang
wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan
sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang
dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat
beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti
syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian
shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :
Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.
Dan yang lain, misalnya :
Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.
Imam
Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa
yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian
pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan
oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan
rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat,
dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini
boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur
Ri’a’ halaman 50)
Nyanyian
di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan
sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang
mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa
Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)
Nyanyian yang kedua,
seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi,
artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada
dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan
dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati,
membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.
Nyanyian
seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para
ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)
Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan
Senantiasa
akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam,
menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah
sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan
pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa
akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan
mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang
mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)
Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.
Dalil-Dalil Dari Al Qur’an
1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan
di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk
menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan,
bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.
Penafsiran
ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu. Dan kata Imam Al
Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian
lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal
itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman
62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran
itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)
Dengan
adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar
kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).
Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :
“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)
Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”
Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli
Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih
permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat
musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’,
sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian
atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)
2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu”
dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada
kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang
paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan.
(Mawaridul Aman halaman 325)
Mujahid
–dalam kitab yang sama– menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’
(nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula
keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.
3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)
Kata
‘Ikrimah –dari Ibnu Abbas–, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek
Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka
bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”
Ibnul
Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan
pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula
menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu
bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main,
lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al
ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)
Imam
Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan
menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena
posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina.
(Kasyful Qina’ halaman 59)
Dalil-Dalil Dari As Sunnah
1. Dari Abi ‘Amir –Abu Malik– Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sesungguhnya
akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan
dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat
musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam
perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR.
Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan
lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman
45-46)
3. Dari Anas bin Malik berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.”
(Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy
Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al
Albani halaman 51-52)
4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya
saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua
suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika
gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling
syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah,
merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)
5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan bagiku –atau mengharamkan– khamr, judi, al
kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)
6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan
terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke
dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat
musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)
7.
Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah
mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di
kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai
Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan
sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan
kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
“Kulihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika
seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak
menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan
nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau
rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa
pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian
dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat
Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan
adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”
Di
dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits
ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera
menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan
sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman
67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.”
Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh
Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan
seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.
Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika
seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan
ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak
mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu
(mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)
Pada
halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika
melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang
bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak
mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi,
ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia
tinggalkan budak ini.”
Dalam
kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya
melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya :
“Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku,
jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada
hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana
pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari
kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya
menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata :
“(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk
dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini
berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari
pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang
memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan
mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari
iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan
ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.
Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)
Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya
melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu
diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang
melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq
sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah
kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)
Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)
Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)
Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai
Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi
rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi
pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang
yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat
tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu
mengajak kepada perzinaan.”
Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah
yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada
alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari
syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :
[
… oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap
syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan
fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara
terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik)
sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum
Mukminin. Allah ta’ala berfirman :
“Dan
siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta
mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia
memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam
sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An
Nisa’ : 115) ]
Selanjutnya
beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang
adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila
seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah
segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya
tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk
Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”
Imam
Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri,
Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’
dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak
diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk
madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara
ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang
menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan
sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong
kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.
Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya
mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang
menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan
meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan
(disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Mereka
(ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika
bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah
dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain
musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu
ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak
boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban
ini.”
Kemudian
Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i
dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’
adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan
sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi
maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.
Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab
beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka
mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i)
mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib
Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan
Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati
Lahfan halaman 301)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :
“Adapun
yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya
duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul
(dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram,
demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya.
Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang
ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia
(Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).
Adapun
persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau
adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri
sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak
memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan
tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya
perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh
alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab
itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab
tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka
siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan
dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka,
berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi
zindiq.” (Mawaridul Aman 303)
Syaikh
Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan
Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil
Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu
mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau
kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya
tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang
zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia
–dengannya– dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)
Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka
menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam
berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika
mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu
menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)
Maka
kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya
(alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, –padahal at taghbir
itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh)
terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin
mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama
lagu–, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang
ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan
meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang
diharamkan?!
Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)
Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)
Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya
nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya.
Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah
melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya
menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan
kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang
kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke
arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab
itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)
Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya
ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya
pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus
jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh,
mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka
mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”
Beliau melanjutkan : “Ketahuilah
bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat
dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan
tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”
Inti
pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya
dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya.
Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan
sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan
hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi
dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai
sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan
meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada
kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al
ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu,
mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada
seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang
(dianggap) menyenangkan.
Oleh
karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan
terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan
keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang
mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan
rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan
kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan
bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya
kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang
berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku,
jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”
Akhirnya,
ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia
mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia
sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya
yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang
banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu,
menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat
dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan,
bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak
layaknya orang gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”
Warisan
yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik)
terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian,
dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi
berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara
khusus.
Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.
Adapun
rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau
perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman
322)
Penyanyi
maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi
dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia
orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan
ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.
Dalam
hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung
akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan
terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara
alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang
diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan
kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan
Rasul-nya. Inilah intinya nifak.
Juga
seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan,
perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq
(taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil
Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil
dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.
Salah
satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan
menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan
jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :
“Jika
mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas,
mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah
kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)
Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka.
Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’
adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi
sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih
indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan
sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan
mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak,
hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan
kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya
mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan
orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa
menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya
pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan
penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)
Semoga
keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya
hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan dipahami.
No comments:
Post a Comment