Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi
Para ulama sangat memperhatian shalat sunnah Rawâtib ini. Yang dimaksud  dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan  Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat  wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada yang mendefinisikannya dengan  shalat sunnah yang ikut shalat wajib.[1]  Syaikh Muhammad bin Shalih  al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara  kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.[2]
Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat memperhatikannya?
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah  shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila  rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari  shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah  hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat  wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh  amalannya diberlakukan demikian” [HR At-Tirmidzi] [3]
Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib  memiliki peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang  melanda shalat wajib seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit  mendapatkan kesempurnaan tersebut, sehingga Rasulullah shollallahu  'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya  sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,  seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya” [HR  Abu Dawud dan Ahmad] [4]
KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Ada beberapa hadits Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan  keutamaan shalat sunnah Rawâtib secara umum, dan ada juga yang khusus  pada satu shalat sunnah Rawatib tertentu, seperti keutamaan shalat  sunnah sebelum Subuh.
Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang berbunyi.
"Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas  raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun  untuknya sebuah rumah di surga” [5]
Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, yang berbunyi.
“Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda  :'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan  membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum  Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua  raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh."
Dalam riwayat lain dengan lafazh :
“Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at,  maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga” [HR An-Nasâ-i]  [6]
Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita  mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga,  siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia  termasuk dalam keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan perbuatan  Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam  hadits Ibnu 'Umar berikut ini.
ö
“Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua  raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah  Maghrib, dua raka'at  setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat  Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa  sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit  fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.” [7]
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh.
“Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya” [8]
Dalam riwayat Muslim berbunyi.
“Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan  bersama Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya” [9]
JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWÂTIB
Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama  terdapat perselisihan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini  dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.
Pertama, menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits  Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu tersebut, dan inilah pendapat para ulama  madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.[10]
Kedua, menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits  Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu  Taimiyyah.[11]
Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan  melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan  shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.
Keempat, menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas. Demikian ini  pendapat Imam asy-Syairazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû'  Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di  atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi:
“Aku mendengar Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Barang  siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at  setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka." [12]
Juga hadits yang berbunyi.
Dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu , dari Nabi shollallahu 'alaihi wa  sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat  sebelum 'Ashar empat raka'at".[13]
Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling  sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir,  adalah delapan belas raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis  (asy-Syairazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang  beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at  dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan  ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah  dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at  sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada  pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]
Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah  Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan  sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu  'alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at,  sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.
Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?
Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang  disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin [15],  yaitu duabelas raka'at  dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh, empat raka'at sebelum  Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dan dua  raka'at setelah 'Isya`, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu  Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi:
“Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur” [16] 
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu  yang menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh  raka'at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu,  Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam  selalu menjaga sepuluh raka'at pada  waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau  shollallahu 'alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum  Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau  shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at  sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu  'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau shollallahu 'alaihi wa  sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua  raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau  shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat  begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa  yang dilihatnya".[17]
Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi  terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat  raka'at sebelum Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar  yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak  komprominya, terkadang beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua  raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua  (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari  kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak  ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."[18]
FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib  ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu  mendampingi shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih  al-'Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah  shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib  ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat  fardhu".[19]
Sedangkan Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam  (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan  keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus  kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu.  Sehingga Syaikh al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita  untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.
Wallahul-Muwaffiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit  Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8  Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
___________
Foote Note
[1]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim,  al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372).
[2]. Syarhul-Mumti' 'ala Zâdil-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al-  'Utsaimin, Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail,  Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H (3/93).
[3]. HR At-Tirmidzi no. 413 dan Ibnu Majah no. 1425. Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Al-Jami Ash-Shaghir no. 2020
[4]. HR Abu Daud no. 796 dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib no. 537
[5]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah Qablal-Farâ-idh wa Ba'daha, no. 1199.
[6]. HR An-Nasa’i no. 1804 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i. (Lihat no. 1804 no. 1804, 261 dan 1696)
[7]. HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qablal-Zhuhur (no.  1180), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab:  Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 729).
[8] HR al-Bukhari, kitab Jum'at, Bab: Tathawwu' Ba'dal-Maktubah (no.  1120), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab:  Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[9]. HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[10]. Syarhul-Mumti' (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372).
[11]. Ibid.
[12]. HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab  ash-Shalat (no. 428), Abu Dawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba'  Qablal-Zhuhri wa Ba'daha (no. 1269) dan Ibnu Majah, kitab ash-Shalat  was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri `Arba'an wa  Ba'daha `Arba'an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh  Sunan Ibni Majah (1/191).
[13]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab  ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ-a fil-Arba' Qablal-'Ashr (no. 430), Abu Dawud  dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-Shalat Qablal-'Ashr (no. 1271), dan  dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud  (1/237).
[14]. Al- Majmu' Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan  oleh muhammad Najîb al-Muthi'i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-'Arabi, Beirut,  Cetakan Tahun 1419H (3/502).
[15]. Syarhul-Mumti' (4/96).
[16]. HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum'at, Bab: ar-Rak'ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110).
[17]. Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah, Cetakan Kedua, Tahun 1418 H (1/298).
[18]. Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh 'Abdullah bin  'Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun  1423 H (2/382-383).
[19]. Syarhul-Mumti' (4/96).
 
No comments:
Post a Comment