Wednesday, December 14, 2011

Melacak Jejak Sekularisasi 
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِن يَرَوْاْ كُلَّ آيَةٍ لاَّ يُؤْمِنُواْ بِهَا وَإِن يَرَوْاْ سَبِيلَ الرُّشْدِ لاَ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلاً وَإِن يَرَوْاْ سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلاً ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَكَانُواْ عَنْهَا غَافِلِينَ“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya”(QS.Al-A-raf, 7:146).

وَالَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَلِقَاء الآخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ“
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan”
(QS.Al-A-Raaf, 7:147) 
 
I. Konflik Antara Akal dan Injil
Injil telah memuat berbagai fakta yang bertentangan dengan akal. Dalam Injil disebutkan bahwa matahari dan bulan diciptakan setelah bumi. Fakta ini bertentangan dengan ide-ide mendasar tentang sistem solar.[1] Jika, sains dan aktifitas penelitian ilmiah dilanjutkan, maka fakta yang ada di dalam Injil harus diabaikan. Jika tidak, konflik akan terjadi.

Pada tahun 1507, Copernicus dalam bukunya De Revolutionibus, mengemukakan bahwa sebenarnya matahari-lah yang merupakan pusat tata surya, bukan bumi. Menyadari bahwa pendapatnya akan bertentangan dengan Injil dan menghindari dari hukuman yang akan diberikan oleh Gereja, maka Copernicus mengemukakan argumentasinya dengan sangat hati-hati sekali dan sangat apologetik. Disebabkan kuatnya otoritas Gereja, maka Copernicus tidak menerbitkan karyanya sampai 36 tahun. Pada tahun 1543, buku itu baru bisa diterbitkan. Salinan dari buku ini diberi kepadanya ketika dia menemui ajal di atas katil tidurnya. Seperti diduga, setelah buku ini terbit, Inkwisisi menuduhnya sebagai bid‘ah. Gereja melarangnya karena bertentangan dengan ajaran Injil.[2] 

Nasib yang sama juga dialami oleh Galileo Galilei yang dituduh murtad, bid‘ah dan ateis karena berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari. Galileo diperintah supaya menghentikan kuliahnya yang membela Copernicus. Setelah 16 tahun Galileo berdiam diri, akhirnya pada tahun 1632, dia bersikukuh mempublikasikan bukunya ku berjudul The System of the World. Ini menyebabkan dia dipanggil kembali oleh Inkwisisi di Roma. Dia dipaksa untuk meninggalkan pendapatnya, jika tidak, akan diancam dengan hukuman mati. Akhirnya, Galileo dikurung. Selama sepuluh tahun akhir hidupnya, dia mendapat layanan yang sangat buruk. 

Giordano Bruno mengalami nasib yang lebih buruk. Disebabkan karya ilmiahnya dalam bidang astronomi, Bruno diburu oleh Inkwisisi di Italia. Bruno menyembunyikan dirinya di berbagai negara Eropa. Setelah memburunya terus-menerus, Inkwisisi menangkapnya di Venice, Italia. Dia dikurung selama 6 tahum, tanpa buku, kertas dan teman. Pihak otoritas spiritual Gereja memindahkan Bruno dari Venice ke Roma. Dia dituduh murtad dan menulis yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Tuduhan khusus kepadanya ialah dia telah mengajarkan terdapat pluralitas dunia. Setelah dipenjara selama 2 tahun, dia dia dituduh bersalah dan dihukum bakar hidup-hidup![3]

Jadi, dominasi Gereja menunjukkan bahwa penelitian ilmiah akan terhambat dan peneliti ilmiah akan dihukum. Karena itu, orang Barat Modern ingin bebas lepas dari dominasi institusi Gereja. Orang Barat menamakan sejarah peradaban Eropa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance), karena akal lahir kembali setelah dikontrol oleh Gereja. Mereka juga kemudian menyebut abad ke-17 sampai abad ke-19 sebagai zaman Pencerahan Eropa (European Enlightenment). Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus dan lain-lainnya menulis tentang berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan.

II.  Sekularisasi: Keharusan Kristiani
Banyak sejarawan Barat berpendapat bahwa sejarah pemikiran Kristen modern bermula dengan gerakan pada abad tujuh belas dan delapan belas, dikenal sebagai Pencerahan (Enlightenment). Dalam bidang pemikiran, Pencerahan ini ditandai sebagai era pemikiran modern dari Novum Organum Francis Bacon (1620) sampai ke Critique of Pure Reason Immanuel Kant (1781). Pencerahan inilah yang kelak menjadi apa yang disebut dengan Zaman Modern. Pandangan hidup zaman modern sudah berbeda paradigmanya dengan pandangan hidup zaman pertengahan. Perubahan paradigman ini mendorong para teolog Kristiani untuk menafsirkan kembali agama Kristen. Ini harus dilakukan supaya Kristen akan tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern. Hasilnya, para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurbach (1804-1872), Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi radikal. Mereka digelar sebagai para “teolog kematian Tuhan” (death-of God theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern.[4] Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible. Mereka menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa. [5]  

Ludwig Feurbach (1804-1872), muridnya Hegel, menegaskan bahwa prinsip filsafat bukanlah substansi-nya Spinoza, atau ego-nya Kant dan Fichte, bukan juga identitas absolut-nya Schelling, bukan juga akal absolut-nya Hegel, bukan pula konsep wujud yang abstrak, tetapi realitas wujud yang benar, yaitu manusia. Oleh karena itu, manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama sendiri yang menyatakan tuhan adalah manusia dan manusia adalah tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).[6] 
Pemikiran Feurbach kemudian sangat mewarnai para sosiolog dan teolog seperti Friedrich Gogarten (1887-1967), Karl Barth, Martin Buber dan Karl Marx. 

Friedrich Gogarten (1887-1967), seorang teolog Protestan terkemuka, dalam bukunya Verhängnis und Hoffnung der Neuzeit: die Säkularisierung als theologisches Problem (Nasib dan Harapan Zaman Kita: Sekularisasi sebagai sebuah Masalah Teologis; Stuttgart, 1958) mengatakan:

Secularization in our day is reaching its climax, and yet our thinking about it still arises from assumptions which either know nothing about this secularization or else have a false conception of what has taken place in it and where its foundations lie. We can obviously only learn from it what must be learnt here if we understand that secularizarion regardless of what may have developed from it in modern times, is a legitimate consequence of the Christian faith. (penekanan ditambah)[7].

Temannya Gogarten, Karl Barth, juga menegaskan bahwa “agama sebagai ketidakpercayaan” (Religion as Unbelief). Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Dietrich Bonhoeffer, seorang Pastor Jerman yang dieksekusi oleh SS Nazi karena terlibat dalam plot membunuh Hitler. Bonhoeffer menyeru para teolog Kristen supaya menyampaikan risalah Kristiani dengan konsep sekuler. Bagi Bonhoeffer, agama harus dipisahkan dari kepercayaan (faith). Dia selanjutnya mengatakan dengan frasenya yang paradoks: “sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama” (a religionsless Christianity).

Seirama dengan Barth dan Bonhoeffer, Gabriel Vahanian, seorang Teolog Neo-Calvinis juga mengatakan: “sekular adalah keharusan seorang Kristiani”. Menurut Vahanian, kematian Tuhan adalah peristiwa agama dan sekaligus budaya. Dalam masyarakat yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggap sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak terpakai lagi. Werner and Lotte Pelz juga mengumandangkan “Tuhan tiada lagi” (God is no more), dalam judul sebuah buku mereka yang diterbitkan pada tahun 1963. Pendeta Woolwich dalam bukunya Honest to God (Jujur kepada Tuhan) dengan nada yang sama juga berpendapat bahwa “Tuhan tanpa Tuhan” (God without God). 

Dengan pendapat-pendapat seperti itu, tidak berarti para teolog tersebut menjadi atheis, karena mereka masih memercayai wujudnya Tuhan. Hanya saja, menurut mereka, pada zaman modern ini, tuhan sudah tidak berperan lagi dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang terjadi di masyarakat Kristen Barat. Tuhan diposisikan di luar urusan kehidupan manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia harus mengatur hidupnya sendiri dengan hukum-hukum yang mereka buat sendiri. God is no more!.

Harvey Cox -- dengan teologi sekularnya --  ingin menjembatani dua kubu yang paradoks secara ektrim, yakni teologi konservatif dan teologi radikal. Cox mengkritik pendapat para teolog kematian Tuhan, karena mereka keliru karena dua faktor. Pertama, mereka telah menjadikan pandangan hidup saintifik modern sebagai parameter, padahal humanisme saintifis modern itu beraneka-ragam. Selain itu, para saintis pun mengakui bahwa metodologi saintifik bersifat operasional dan berada dalam ruang lingkup yang terbatas. Oleh sebab itu, metodologi saintifik tidak menawarkan “pandangan hidup’. Kedua, pendapat teolog radikal terhadap teologi Kristen tidak kritis dan ahistoris. Mereka menganggap isi doktrin Kristen tidak berubah, maka perlu dibuang.[8] 

Namun, Cox juga tidak konsisten. Cox sendiri memuji konsep teologi Bonhoeffer. Cox mengatakan: kita masih sangat jauh untuk “melintasi Bonhoeffer” (we are very far from being “beyond Bonhoeffer”).[9] Jadi, sebenarnya teologi sekular dan ‘teologi kematian Tuhan’ adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Pada tahap awal, Teologi sekular tampak seolah-olah membela agama dan menempatkan agama posisi terhormat  dan suci karena tidak campur tangan dalam urusan profan, tetapi konsep ini sebenarnya membunuh agama, sebagaimana konsepsi para teolog kematian tuhan itu.

Harvey Cox, menegaskan bahwa pemikirannya berbeda dengan para teolog kematian Tuhan dan juga teolog seperti Mascal yang menganggap ajaran Kristen berada di luar waktu. Bagi Cox, ajaran Kristen perlu dipandang dari perspektif sejarah yang berkembang. Gereja berkembang dalam sejarah dan karenanya terkait dengan situasi dan kondisi tertentu. Gagasan ini sudah dikembangkan pertama kalinya oleh oleh John Henry Newman, diikuti oleh Karl Adam, Hans Kung, Leslie Dewart dan Bernard Lonergan. Gagasan bahwa doktrin progressif dan kritik sejarah perlu dilakukan memang bertentangan dengan para teolog konservatif. Gagasan doktrin progressif melihat bukan hanya masa lalu, namun masa sekarang juga adalah bagian dari doktrin yang akan terus berkembang. Ajaran yang ada dalam doktrin selalu berkembang karena nuansa makna dan bahasa selalu berubah. Dan ini adalah doktrin yang lebih benar. 

Cox yang menerima kritikan hebat dari para Teolog konservatif dengan gagasan sekularisasi kemudian berpendapat bahwa sekularisasi bukanlah ide baru. Ide ini telah digemakan sebelumnya oleh Friedrich Gogarten. Jadi, Cox, Paul van Buren (The Secular Meaning of of the Gospel, London 1963); R. Gregor Smith (Secular Christianity, London 1966) dan lain-lainnya menindaklanjuti gagasan teologi radikal yang sudah digagas oleh para teolog sebelum mereka.

Memang ada sebagian teolog konservatif -- seperti E. L. Mascal -- yang setia berpegang teguh kepada “tradisi” Kristen. E. L. Mascal, seorang teolog sekaligus Profesor dalam bidang sejarah teologi di Universitas London membantah baik teologi kematian atau pun teologi yang sudah tersekularkan. Menurut Mascal, ajaran Kristiani harus dijaga di dalam bentuknya yang klasik, seperti skolastik atau idealistik atau dalam bentuk yang lain.[10] Mascal menganggap pengaruh sains dan teknologi yang merebak dan sangat gencar kepada kehidupan orang Kristen, yang memunculkan gagasan sekularisasi sehingga ‘dunia’ ini tidak lagi dipandang sebagai memiliki kaitan lagi dengan Tuhan.[11] Mascal menganggap pemikiran para teolog yang tersekularkan adalah fatal karena menafikan peristiwa-peristiwa supranatural yang ada di dalam Bible. Mascal juga mengkritik pendapat Cox yang menyatakan bahwa ajaran Bible tentang Penciptaan sebagai langkah awal menuju sekularisasi yang sempurna.[12] Namun, pendapat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan realitas masyarakat Kristen.  

III. Istilah Sekularisasi
Istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu mundus, yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Kata saeculum lebih menunjukkan masa (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space). Kata saeculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus sepadan dengan kata cosmos juga dalam bahasa Yunani kuno.

Menurut Harvey Cox, disebabkan kata “dunia” di dalam bahasa Latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia di dalam bahasa Latin menjadi suatu kata yang ambivalent. Ambivalensi kata “dunia” ini, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani,  dunia itu menunjukkan suatu masa. Bagi orang Yunani, dunia adalah sebuah ruang, sebuah tempat. Event–event terjadi di dalam (within) dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada (to) dunia. Sebaliknya, dalam bahasa Ibrani, esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa yang terjadi secara berurutan, bermula dari penciptaan dan menuju kesempurnaan.[13] Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan.[14] Jadi, jika orang Yunani kuno memandang realitas itu menurut ruang, maka orang Yahudi memandang realitas itu menurut masa. Ketegangan konsep antara keduanya kemudian berdampak terhadap teologi Kristen sejak awal pembentukannya.[15] 

Menurut Cox, pengaruh kepercayaan Ibrani terhadap dunia Hellenistik, melalui perantara orang-orang Kristen awal, adalah “mentemporalisasikan” (temporalize) realitas. Hasilnya, dunia menjadi sejarah, cosmos menjadi aeon, mundus menjadi saeculum. Jadi, kata secular sebenarnya adalah korban pertama dari ketidakinginan orang Yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Jadi, disebabkan pengaruh Ibrani itu, konsep sekular menunjukan “kondisi” (condition) dunia ini,  pada zaman ini (this age), atau ‘masa sekarang’ (now). Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan ini juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan oleh masa atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical process).  Jadi, inti dari makna “sekular”,  adalah  bahwa konteks dunia berubah terus-menerus. Akhirnya,  berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian adalah relatif. Demikian simpul Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Harvard University.[16] 

Cox kemudian meneliti perubahan makna yang terjadi pada kata sekularisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan pengaruh Helenistik, makna kata sekular sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior. Sekular sudah bermakna perubahan di “dunia ini” bertentangan dengan “dunia agama” yang kekal-abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal-abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia “sekular” yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transient). 

Makna kata sekular semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dan Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih rendah atau dunia “sekular”. Ini sebenarnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen, simpul Cox. 

Padahal, Bible sudah menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Tuhan segala kehidupan tergambar di dalam limbo sejarah. Ajaran Bible menyatakan bahwa kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata sekularisasi, yang pertamanya memiliki makna yang sangat sempit dan khusus, kemudian perlahan-lahan meluas. Sekularisasi yang pada awalnya bermakna proses pindahnya tanggung-jawab pendeta “yang agamis” menjadi seorang parokia, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Sekularisasi bermakna pembagian antara institusi spiritual dan sekular. “Sekularisasi” bermakna pindahnya tanggung-jawab tertentu dari Gereja ke kekuasaan politik. 

Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode Englihtenment dan Revolusi Perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini tetap digunakan di negara-negara yang mewarisi budaya Katolik. Konsekwensinya, proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari Gereja ke administrasi publik, misalnya, disebut sekularisasi. Makna ini kemudian berubah akhir-akhir ini. Sekularisasi bermakna gambaran sebuah proses pada level budaya, yang paralel dengan level politik. Sekularisasi berarti hilangnya diterminasi agamis terhadap simbol-simbol integrasi budaya. Sekularisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari sekularisasi politik dan sosial.[17]  

Jadi, menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat  duniawi.

Setelah melacak secara etimologis dan perubahan makna yang terjadi dalam kata sekularisasi, Cox kemudian membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, lanjut Cox, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme -- yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Bagi Cox, sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.[18]  

Harvey Cox berpendapat bahwa gagasan sekularisasi sangat didukung oleh ajaran-ajaran Bible.[19] Cox secara mendalam membahas justifikasi dari Bible terhadap sekularisasi. Menurut Cox, terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant). Ketiga kerangka asas ini menunjukkan dengan jelasnya pengaruh Ibrani terhadap pemikiran Cox.  


IV. Bebas Agama
Dunia, kata Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini disebut  ‘disenchantment of nature’, berasal dari terjemahan die Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman.[20] Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga dunia ini. Disebakan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal, pembebasan  dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam tabi’i bukanlah suatu entitas suci (divine entity).[21] 

Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan ‘Desacralization of politics’, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral (desakralisasi politik). Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama ke atas institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik).

Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama (deconsecration of values/dekonsekrasi nilai-nilai). Mereka akan menyatakan, bahwa kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama.  Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada  seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi. Dengan konsep ini, manusia sekuler bisa tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif. Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat” dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Quran.

Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox, mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an. Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari pemikiran Cox. Karyanya ‘Beyond Belief’ memiliki banyak kesejajaran dengan apa yang telah diungkapkan Cox. [22] Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam bidang politik dengan gagasan ‘civil religion’.[23]  Konsep sekularisasi yang dianut Bellah juga  kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox. Bellah mengutip pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan Problem-Problem Modernisasi.[24]

Sangat disayangkan peristiwa yang terjadi di dunia Barat kemudian dijadikan gagasan universal. Hasilnya, gagasan sekularisasi, baik yang difahami dari sudut pandang sosiologis atau teologis telah diimport dan disebarkan kepada masyarakat Muslim seperti yang terjadi pada tahun 70-an. Gagasan ini kemudian digemakan kembali oleh para ‘pemikir’ Muslim liberal. 


V. Gagasan Sekularisasi Nurcholish Madjid 
 
Gagasan sekularisasi di Indonesia sulit dilepaskan dari nama Nurcholish Madjid, yang pada tanggal 2 Januari 1970 meluncurkan gagasannya dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.  Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta,  pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia. 

Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, yang mengelaborasi gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Sekalipun Nurcholish Madjid memodifikasi gagasan Cox dan Bellah dan dicarikan justifikasinya dalam ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam. 

A.Istilah Sekularisasi
 
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia berpendapat:

Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.[25]

Pendapat Nurcholish mengenai etimologi sekular ini dapat ditelusuri dari pemikiran Harvey Cox, yang pada tahun 1960-an, sudah lebih dahulu menjelaskan secara rinci, bahwa istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). 

Setelah mengungkap etimologi kata “sekular”, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian menjelaskan:

“Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.”[26]

Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia adalah makhluk sekular. Dia jelaskan lagi:

“Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu.”[27]

Sayangnya, Nurcholish tidak menyebutkan perubahan makna terhadap kata sekularisisasi. Padahal, penjelasan perubahan makna ini sebenarnya sudah diungkapkan lebih terperinci oleh Cox. Selain itu, penjelasan Nurcholish tentang “sekularisasi” dan “penduniawian” mengadopsi penjelasannya Harvey Cox.  Menurut Nurholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.[28]

B. Sekularisme dan Sekularisasi
 
Salah satu argumentasi Nurcholish yang terkenal dalam mempertahankan pendapatnya adalah pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”. Dalam hal ini, Nurcholish mengutip pendapat Harvey Cox, sebagaimana telah dibahas dalam bab pertama.[29] Nurcholish juga bahwa pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.[30]  

            C. Justifikasi Sekularisasi
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasion. Dengan rasion inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. 

Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. 
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/spiritualkeagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.[31]
Sebelum Cak Nur menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran-ajaran Bible.[32] 

Fakta-fakta yang telah terungkap menunjukkan, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid banyak mengadopsi gagasan yang dikembangkan Harvey Cox – yang berangkat dari konsep dan pengalaman sejarah agama Kristen. Banyak yang menyebutkan, bahwa sekularisasi sudah merupakan keharusan bagi dunia, karena kuatnya dominasi Barat. Seharusnya, ilmuwan Muslim bersikap kritis saat mengadopsi gagasan-gagasan seperti ini, karena konsep sekularisasi memang bertentangan dengan konsep Islam. Sejarah Islam juga tidak pernah mengalami pengalaman pahit dalam hubungan antara agama dengan negara, atau pertentangan antara agama dengan sains seperti dalam sejarah Kristen. Karena itu, tidak bijak, jika konsep dan gagasan sekularisasi ini kemudian diadopsi dan diterapkan dalam masyarakat Muslim, yang memiliki pandangan hidup sendiri. 


VI. Kritik al-Attas Terhadap SekularisasiPada akhir tahun 60-an dan70-an, al-Attas sangat aktif membimbing gerakan para mahasiswa di beberapa universitas di Malaysia untuk memfokuskan perjuangan mereka kepada isu-isu fundamental yang sangat penting di dalam pembangunan bangsa seperti masalah bahasa, budaya, sekularisasi, Westernisasi dan Islamisasi.[33]
Pada tahun 1973, al-Attas sudah mengkritik gagasan sekularisasi ini.[34] Gagasan di dalam buku ini dikembangkan menjadi beberapa karya monograf.[35] Khusus mengenai penolakan terhadap sekularisasi, al-Attas kemudian pada tahun 1978, telah menerbitkan Islam and Secularism, yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. 

Menurut al-Attas, klaim bahwa akar sekularisasi terdapat dalam kepercayaan Bible adalah keliru. Bagi al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam Bible, tetapi terdapat dalam penafsiran orang Barat terhadap Bible.[36] Sekularisasi bukanlah dihasilkan oleh Bible, namun ia dihasilkan oleh konflik lama antara akal dan wahyu di dalam pandangan hidup orang Barat. Disebabkan tidak kuatnya dogma dan ajaran Kristen dalam menghadapi Barat yang sekular, makanya Kristen terbaratkan.

Al-Attas juga mengkritik makna yang terkandung dalam istilah sekularisasi. Bagi, al-Attas, sekalipun Cox membedakan antara sekularisme dan sekularisasi, namun pada akhirnya, sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisisme (secularizationism).[37] 

Menurut al-Attas, orang Islam tidak boleh ikut-ikutan menerapkan konsep pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam tabi’i (disenchantment of nature) karena konsep ini bertentangan dengan konsep pandangan hidup Islam tentang alam. Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah a>ya>t (kata, kalimat, tanda symbol) manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. Manusia memang sebagai khalifah di atas muka bumi. Namun ini bukan berarti manusia akan menganggap dirinya sebagai ‘partner bersama Tuhan dalam penciptaan’. Manusia harus berlaku adil kepada alam. Hubungan harmonis antara manusia dengan alam harus terjalin. Justru disebabkan alam bagaikan Kitab terbuka, maka alam itu dipelajari dan diketahui. Tujuannya supaya kita bisa menghargai dan mengakui besarnya kemurahan dan hikmah yang terkandung yang diberikan Tuhan, pencipta semesta alam. Sekularisasi telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.[38]

Jadi, sekularisasi yang dekat dengan faham idiologi posistivisme jelas bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Sekalipun Islam juga mengosongkan nilai-nilai kepercayaan animisme, tahyul, khurafat dari alam, namun ini tidak berarti Islam mengosongkan sepenuhnya alam dari nilai-nilai ruhani. Jadi, Islam mengosongkan alam dari nilai-nilai animisme, tahyul, khurafat dan mengisinya dengan nilai-nilai Islami. Jadi, Islam melihat apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan dan bintang, pergantian siang dan malam, langit diangkat, bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, unta diciptakan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Jadi yang terjadi dalam Islam adalah ‘the proper disenchantment of nature’,[39] bukan ‘the unjust disenchantment of nature’, sebagaimana yang terjadi dalam gagasan sekularisasi!

Desakralisasi politik tidak bisa diterima karena ia bertentangan dengan pandangan hidup Islam, dimana agama sangat berperan dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan. Dalam Islam, sebagaimana diungkapkan al-Attas, kekuasaan politik didasarkan atas Kuasa Ilahi (Divine Authority) dan kuasa suci Rasulullah saw. yang merefleksikan Kuasa Tuhan. Kuasa yang sama juga ada pada mereka yang mencontohi dan mengikuti sunnah Rasulllah saw. Justru sebenarnya setiap Muslim harus menolak klaim kuasa suci oleh siapa pun kecuali penguasa yang meneladani sunnah Rasullullah saw dan mematuhi undang-undang Tuhan. Jadi, sebenarnya seorang Muslim hanya perlu taat kepada Allah, Rasullah saw dan pemimpin yang meneladani sunnah Rasulullah saw.[40] 

Desakralisasi jelas menafikan peranan ulama yang berwibawa dalam sistem pemerintahan. Padahal, Rasullullah saw. sendiri sudah mencontohkan dirinya sebagai pemimpin negara. Hal ini juga diikuti oleh para penggantinya, khulafa al-Rasyidin yang semuanya arif dalam masalah agama. Menceraikan Islam dari politik akan menghalang peranan pandangan hidup Islam tersebar di dalam masyarakat. Agama menjadi urusan pribadi bukan publik.

Al-Attas mengkritik relativisme sejarah, yang menjadi urat nadi dalam sekularisasi. Islam adalah agama mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena ia bermaksud merelatifkan semua sistem akhlak.[41] 

Jadi, sangat disayangkan gagasan sekularisasi yang bersumber dari pengalaman pandangan hidup Barat kemudian diimport serta disebarluaskan oleh pemikir Muslim modernis tanpa melakukan penyeleksian yang ketat, ilmiah dan bertranggung jawab terhadap sejarah dan landasan filosofis, teologis, pandangan hidup (worldview) dan epistemology serta sosiologis dari ide tersebut.
 
Catatan Kaki :
[1] Maurice Bucaille mengungkapkan berbagai fakta sains yang jelas bertentangan dengan Bible. Lihat pemaparannya lebih mendetail dalam karyanya The Bible The Qur’an and Science (Kuala Lumpur: Thinkers Library Sdn. Bhd., tanpa tahun). 
[2] History of the Conflict Between Religion and Science, 167-168.                        
[3] 179-180.
[4] Ibid., 11-12. 
[5] Harvey Cox, ‘Why Christianity Must Be Secularized” in The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc, 1967), 9-10, selanjutnya diringkas Christianity.  
[6] Ludwig Furbach, The Essence of Christianity, penerjemah George Eliot (New York: Prometheus Books, 1989), xiii-xix.
[7] Dikutip dari Harvey Cox, GIT, 11.
[8] Harvey Cox, GIT, 12.
[9] Harvey Cox, “Beyond Bonhoeffer? The Future of Religionless Christianity” in The Secular City Debate, ed. Daniel Callahan (New York: The Macmillan Company, 1966), 208.
[10] Harvey Cox, Ibid.
[11] E. L. Mascal, “Why Christianity Should Not Be Secularized” in The Great Ideas Today 1967 (Chicago: 1967), 27.
[12] Mascal, Ibid., 28-29.
[13] Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967), 16, selanjutnya di ringkas The Secular City. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat Martin E. Marty, “ Does Secular Theology Have a Future” di The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967), selanjutnya diringkas GIT.
[14] Harvey Cox, GIT, 9.
[15] Harvey Cox, The Secular City, 16.
[16] Harvey Cox, The Secular City, 16-17.
[17] Ibid., 17.
[18] Harvey Cox, The Secular City, 18.
[19] Ibid., 17. 
[20] Frase ‘disenchantment of the world’ digunakan oleh Freidrich Schiller dan dipetik oleh Weber dalam karyanya Essays in Sociology (New York: 1958) dan Sociology of Religion (Boston, 1964). 
[21] Harvey Cox, The Secular CIty, 21.
[22] Robert N. Bellah, Beyond Belief-Essays on Religion in a Post Traditionalist World (California: University of California Press, 1970) selanjutnya diringkas Beyond Belief. 
[23] Robert N. Bellah & Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1980). 
[24] Robert N. Bellah, Beyond Belief, 147.
[25] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keiindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hal. 216, selanjutnya diringkas Keindonesiaan.
[26] Nurcholish Madjid, Keindonesiaan, 216-217.
[27] Ibid., 217.                                                                                               
[28] Ibid., 217-218.
[29] Bandingkan penjelasan Nurcholish dengan penjelasan Harvey Cox dalam The Secular City, 18.  
[30] Nurcholish Madjid, Keindonesiaan, 219-220. 
[31] Ibid., 222-233.
[32] Harvey Cox, The Secular City, 17. Harvey Cox secara mendalam membahas justifikasi dari Bible terhadap sekularisasi dalam karyanya ini.
[33] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas - An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 237, selanjutnya diringkas The Educational Philosophy.
[34] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 196-209. Sekalipun Risalah ini baru diterbitkan pada thun 2001, tetapi sebenarnya ia telah dibukukan pada sejak tahun 1973, selanjutnya diringkas Risalah.
[35] Ibid., x.
[36] Al-Attas, Islam, 20.
[37] Ibid., 48. Sekalipun judul buku al-Attas adalah Islam dan Sekularisme, namun makna Sekularisme bukan sekedar idiologi secular seperti komunisme, sosialisme dan bentuknya yang beragam, namun juga termasuk pandangan hidup secular yang diproyeksikan oleh sekularisasi, yang intinya adalah relativisme historis sekular, dan inilah makna dari sekularisisme.
[38] Al-Attas, Islam, 38-40.
[39] Ibid., 40-1.
[40] Ibid., 32.
[41]Ibid., 30-32.

Assalamu’ alaikum Wr Wb,
Yth. Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati dan diberkahi Allah SWT dimanapun itu berada dimuka bumi ini,

Alhamdulilah wa syukuri-LLah,dengan karunia dan kasih sayang Allah SWT, kembali dengan izin dan ridho-Nya dapat dituliskan serial ke-35, dalam kajian Islam versus Sekularisme. 

Kali ini kajian akan mulai membahas dalam serial berlanjut tentang bahaya dan ancaman sekularisme di Indonesia. Hal ini menjadi sangat krusial, karena sejatinya jika diamati secara menyeluruh dan radikal bahwa suburnya cara pandang yang mendewakan, memuja dan menjalankan paham materialisme, hedonisme, kapitalisme, individualisme, pragmatisme, empirisme dan rasionalisme, adalah akibat lanjutan dari semakin kuat, subur dan dalamnya pandangan hidup (worldview) sekular, gaya hidup sekular masuk mewarnai, dan mempengaruhi pandangan hidup dan gaya hidup umat Islam. Fakta yang menonjol adalah bahwa ketika agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya menjadi tujuan utamanya. Cinta harta, cinta duniawi (hubud dunya)  merasuki dalam rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler. Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama, menghahal kan segala cara yang penting tujuan tercapai. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas. Slogan hidupnya mulai berubah, dengan beranggapan bahwa “semakin bodoh seseorang  itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist”. Maka janganlah kaget, wujud nyata yang menonjol adalah dengan suburnya pandangan hidup koruptor (woldview koruptor), gaya hidup KKN pada pribadi, masyarakat dan berbagai lembaga eksekutip, yudikatip dan legaslatip.

Perlu dicatat secara serius, sebuah pengalaman menarik yang bisa menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia terkait dengan bahaya dan ancaman paham sekulerisme. Dari berbagai kunjungannya ke negara-negara Barat,  DR. Hamid Fahmy Zarkasyi berkesimpulan bahwa sekulerisme di Barat mengalami kebingungan yang fundamental. Bagaimana tidak, ternyata menjadi sekuler tidak membuat orang jadi bijak bestari. Justru yang terjadi, negara-negara yang menerapkan sekulerisme semakin tidak toleran dengan agama.

“Dalam sebuah kesempatan public lecture yang bertema moderasi dan toleransi di Universitas Wienna, Austria, beliau pernah ditanya salah seorang peserta, mengapa di Indonesia orang bisa toleran tapi di sini dan negara Eropah tidak?  Beliau katakan, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga tidak toleran dengan agama.”

Pembina InPAS dan Direktur INSISTS ini mengingatkan bahwa sekuler bukanlah pilihan cerdas dan solusi segala masalah. Menyingkirkan agama dari publik justru menambah masalah. Di Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropah yang anti agama, pemerintahannya mulai mengurusi agama. Di Inggris, pemerintahnya terpaksa membolehkan Muslim buka Mahkamah Syari’ah. Bahkan kini di America malah muncul ide de-privatization of religion, menjadikan agama bukan urusan privat lagi.

Dan hal yang paling membuktikan bahwa negara-negara Barat semakin tidak puas dengan jalan sekulerisme adalah koreksi Harvey Cox terhadap ide sekulerisasi agama-agama. Harvey Cox yang dikenal sebagai Bapak Sekulerisme kemudian menulis makalah berjudulReconsidering Secularism untuk merevisi bukunya sendiri The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, yang pada beberapa masa menjadi pedoman dan panduan sekularisasi bagi kelompok cendekiawan Sekularis dan Liberalis di Indonesia. Hal inilah, sejatinya yang menyebabkan beberapa negara di Barat bingung. Apakah Indonesia akan meniru?
 
Sungguh sangat disayangkan sekali, kelompok cendekiawan sekularis dan liberalis ini sejatinya tidak sampai dapat merasakan, melakukan dan menghayati  pada kesimpulan bahwa orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang,  bahagia dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Bukankah, Jika demikian maka benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat”.
Karenanya, simaklah dan perhatikanlah dengan teliti pemahaman dan pemikiran yang berkembang dewasa ini pada anak-anak kita, saudara/i kita, sahabat-sahabat kita, generasi muda Islam dan pada umat Islam kaum Muslimin dan Muslimat pada umumnya, pada internal umat Islam apakah sudah terkontaminasi atau teracuni dengan gaya hidup sekular, pemikiran serta perbuatan mereka ?


Olehkarenanya untuk memberikan pencerahan, inspirasi dan masukan yang bermanfaat, serial ke-35 Islam Versus Sekularisme kali ini diberi judul "Melacak Jejak Sekularisme" (File winwords-nya dapat dilihat pada lampiran email ini) .

Selamat membaca, semoga sungguh-sungguh dapat bermanfaat bagi kaum Muslimin dan Muslimat dalam rangka ikut mencerahkan pemahaman dan pemikiran Islam yang cemerlang untuk membangun peradaban Islam di-Indonesia berlandaskan pandangan hidup (worldview) dan epistemology tauhidi berasaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah saw,
 Amin 3X, Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu' alaikum wr wb,Hamba Allah yang dhoif dan fakir.

Wednesday, November 16, 2011

Full Juz Amma 30

Bismillah

Salams to all,

Had a couple of requests in regards to the stand of Music in Islam.   Here is what I undertand and have found.....PLEASE my request to read it properly and further research yourself...InshaALlah.

"This is because Quran and song can never coexist in the heart"....'Ibnul Qayyim'
(Either one has to get-out....its our choice)

 “From among the artful machinations and entrapments of Allah’s enemy (Satan), with which he has snared those possessing little good sense, knowledge and deen (faith), and by which he has stalked the hearts of the false and ignorant people, there is the listening to whistling, wailing, hand clapping and song to the accompaniment of forbidden (musical) instruments.(Plse try and look into the instruments that are forbidden by the Prophet(SAW).
Such instruments block the Quran from Peoples Hearts and make them devoted to sin and disobedience. For song (to musical accompaniment) is the Quran of Ash-Shaytan (Satan). It is a dense veil and barrier, preventing nearness to Ar-Rahman! (Allah).
By way of such song, Satan deceives vain souls, making it appear pleasing to them through his cunning appeal to their vanities. He insidiously whispers false, specious arguments suggesting the 'goodness' in song. These arguments are accepted, and as a result, the Quran becomes an object of neglect and abandonment.”(Ibnul Qayyim)
Recent researches have shown certain Music that kills plants and in human dramtically suppress the immune system.  It has also been proven that music can make body very acidic. This is negative music? It is music that stimulates the negative emotions: anger, frustration, depression, hatred, terror and fear.  It is the music that accompanies crime programs and horror films.  We now have so many kids killing parents based on music and its harsh words.  Use your Eyes to see good and witness it for RIGHT PURPOSE only.  Use your Ears to hear what has been designed by Allah to hear what is Normal.  The consequenses will be Negative if we Habbituate ourselves to hear what is Abnormal. 
Further more, groups sprang up during this period. In truth, hard-rock, hard drugs, mixed with psychedelics were having an effect. The world was witnessing a new phenomena: musical groups of young people were using electrified instruments to bring in a new music that was harmful to the human psyche, destructive, and angry.  Now we have a generation of 'ANGER'.  Whereas 'ANGER' is the main attributes of the 'DAJJAL'.  A total generation of 'BREAKAGE IN THE SOCIETY'.  Anger of Parent and Child.  Anger between Husband and Wife.  Anger between different Sects.  Anger between People and their Leaders.  It's Anger upon Anger....
What kind of people have we become????  Nothing seems to bother us anymore. We tend to encourage our kids with such kind of music and T.V programmes.  Marriages, Birthday Parties, or any Celebration, cannot be rejoiced without hard, loud and strong MUSIC anymore.?  It's difficult to be a resturant or shopping mall without it.  It's everywhere anyways, and we as Muslims make it our it our leisure and passtime or an hobby to listen while studying or jogging or eating....etc etc...We want to get the big degree of B.A.M(Being a Muslim).
We may listen to Quran, but it won't enter our hearts.  Did we ever try to understand what it is that is 'Blocking Our Hearts from understanding it and implementing on it'???
"There will come a time upon the Ummat when people will recite the Qur’an, but it will not go further than their throats, (into their hearts)".(BUKHARI)
The Noble Qur'an - Al-Isra 17:64
"And Istafiz [literally means: befool them gradually] those whom you can among them with your voice (i.e. songs, music, and other call for Allah's disobedience)..."
Hadith - Bukhari 7:494
Narrated Abu 'Amir or Abu Malik Al-Ash'ari that he heard the Prophet saying, "From among my followers there will be some people who will consider illegal sexual intercourse, the wearing of silk, the drinking of alcoholic drinks, and the use of musical instruments as lawful.  And (from them), there will be some who will stay near the side of a mountain, and in the evening their shepherd will come to them with their sheep and ask them for something, but they will say to him, 'Return to us tomorrow.' Allah will destroy them during the night and will let the mountain fall on them, and Allah will transform the rest of them into monkeys and pigs and they will remain so till the Day of Resurrection."

There is so much BENEFIT of Listening and Adhering to what the Quran has to say.  There is so much more I could put it on the table in regards to the Negative effects of Music.  But I think the above Hadith and Verses of the Quran should be enough for all of us to try and avoid what has been PROHIBITED and Declared as Haram by Most of the Scholars.  All is just not said by the our Prophet(SAW) and by the learned.  It's based on Knowledge and Practicle Experiments...Alhamdolillah.

There are a lot of us who loved MUSIC and now have thrown it aside.  It was difficult.  But then the Quran and light Nasheeds took over our worldly vices.  Yes, there is no doubt that when we are shopping, or in places where there is music, and we can't do much about it except to move out of there asap.  The domination of MUSIC is everywhere.  MUSLIM and NON-MUSLIM land and houses.  In such times, try and avoid as much as possible, make a way out, specially from those who are your closest of families and friends.  Make it up in such a way with other actions and advice in an appropriate time and way, that they do not 'REPEL' against you, but in a way that if not today, there will be a tomorrow that you maybe able to make them understand...INSHAALLAH.  Least we could do is STOP the personal habit of listening to music and lowering the volume whenever you watch a movie and tv commercials. 
 
And The Bottom-line is, WHO ARE YOU GOING TO MEET ON THE DAY OF JUDGEMENT ??  AND WHO DO YOU WISH SHOULD BE THE ONE CONTROLLING YOUR HEART. ???....The Quran or Music..??????
 
THE CHOICE IS YOUR..................................REMEMBER?? ONE HAS TO BE OUT....INSHAALLAH.

Thursday, November 10, 2011

Bening Hati Berbalas Surga
 
Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para sahabat. Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba Rasulullah berhenti sejenak dan berkata,”Akan hadir diantara kalian seorang calon penghuni surga”. Para sahabat pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan antusias mereka menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang ke arah pintu.
 
Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid. Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy. Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar keistimewaan dia.
Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari selanjutnya. Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian muncul.
Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang i-laki itulah yang dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni surga?
Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari, sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.
 
Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki makan, si sahabat ikut makan. Saat si laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa saja. “Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus,” pikirnya. Tapi ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur’an dan mengerjakan ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.
Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.
Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya bermalam. Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia bertanya, “Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau lakukan sehingga kau disebut salah satu calon penghuni surga oleh Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu”.
 
Si laki-laki menjawab, “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu. Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan kubuang semua iri, dengki, dendam dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian.”
Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi berseri-seri. “Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu para sahabat mengenai hal ini”. Sang sahabat pun pamit dengan membawa pelajaran berharga.
 
Diambil dari : http://oaseislam.com

Monday, October 31, 2011

Posted: 24 Oct 2011 05:00 PM PDT
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Alhamdulillah, bulan Dzulhijah telah menghampiri kita. Bulan mulia dengan berbagai amalan mulia terdapat di dalamnya. Lantas apa saja amalan utama yang bisa kita amalkan di awal-awal Dzulhijah? Moga tulisan sederhana berikut bisa memotivasi saudara untuk banyak beramal di awal Dzulhijah.
Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijah
Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.[1]
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini, hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah).”[6]
Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[7] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[8]
6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah
Ada 6 amalan yang kami akan jelaskan dengan singkat berikut ini.
Pertama: Puasa
Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[9], …”[10]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [11]
Kedua: Takbir dan Dzikir
Yang termasuk amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid, beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat (mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .
Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah.[12]
Catatan:
Perlu diketahui bahwa takbir itu ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).
Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.
Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah[13].
Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.
Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.
Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh
Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama Dzulhijah adalah menunaikan haji ke Baitullah. Silakan baca tentang keutamaan amalan ini di sini.
Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh
Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.
Kelima: Berqurban
Di hari Nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Silakan baca tentang keutamaan qurban di sini.
Keenam: Bertaubat
Termasuk yang ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama. Silakan baca tentang taubat di sini.
Intinya, keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[14]
Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allah, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allah.[15]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

1st Dzulhijah 1431 H (07/11/2010), in KSU, Riyadh, KSA
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
www.rumaysho.com


[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H, hal. 469.
[6] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, 1407, 1/35.
[7] Lathoif Al Ma’arif, 469.
[8] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[9] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[10] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[12] Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”.
[13] Syaikh Hammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Al Hammad, guru kami dalam Majelis di Masjid Kabir KSU, dalam Khutbah Jum’at (28/11/1431 H) mengatakan bahwa takbir muqoyyad setelah shalat diucapkan setelah membaca istighfar sebanyak tiga kali seusai shalat. Namun kami belum menemukan dasar (dalil) dari hal ini. Dengan catatan, takbir ini bukan dilakukan secara jama’i (berjama’ah) sebagaimana kelakukan sebagian orang. Wallahu a’lam.
[14] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Dar Al Imam Ahmad, hal. 116, 119-121.
[15] Point-point yang ada kami kembangkan dari risalah mungil “Ashru Dzilhijjah” yang dikumpulkan oleh Abu ‘Abdil ‘Aziz Muhammad bin ‘Ibrahim Al Muqoyyad.

Sunday, October 30, 2011

Posted: 08 Oct 2011 11:00 PM PDT
Shalat berjamaah di masjid merupakan salah satu amal yang mulia. Agar ibadah ini semakin sempurna, ada beberapa adab dan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak boleh diabaikan. Berikut di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan seorang muslim ketika hendak melakukan shalat berjamaah di masjid :
[MemilihPakaian yang Bagus]
Hendaknya kita memilih pakaian yang bagus saat pergi ke masjid. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar memakai pakaian yang menutup aurat, akan tetapi memerintahkan pula untuk memperbagus pakaian, lebih-lebih lagi ketika akan pergi ke masjid. Allah Ta’ala berfirman
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).
Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa kita dianjurkan untuk berhias ketika shalat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari raya. Termasuk dalam hal ini memakai parfum bagi laki-laki.
Namun sekarang banyak kita jumpai kaum muslimin yang ketika pergi ke masjid hanya mengenakan pakaian seadanya padahal ia memiliki pakaian yang bagus. Bahkan tidak sedikit yang mengenakan pakaian yang penuh gambar atau berisi tulisan-tulisan kejahilan. Akibatnya, mau tidak mau orang yang ada dibelakangnya akan melihat dan membacanya sehingga mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan shalat.
[Berwudhu dari Rumah]
Sebelum pergi ke masjid, hendaknya berwudhu sejak dari rumah, sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim 1553)
 [Membaca Doa Menuju Masjid]
Saat keluar dari rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ
“Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:  “Bismillahi tawakkaltu ‘alallaahi, laa haula wa laa quuwata illa billah (Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah). ‘ Beliau bersabda, “Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata kepadanya (setan yang akan menggodanya, pent.), “Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan.” (HR. Abu Daud no. 595, At-Tirmizi no. 3487)
Ketika hendak menuju masjid, dianjurkan membaca :
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
Allahummaj’al fii qolbi nuura wa fii bashari nuura wa fii sam’i nuura wa ‘an yamiinihi nuura wa ‘an yasaarii nuura wa fauqi nuura wa tahti nuura wa amaami nuura wa khalfi nuura waj’al lii nuura (Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya dari belakangku, dan jadikanlah untukku cahaya” (H.R Muslim 763)
[Berdoa Ketika Masuk Masjid]
Setelah sampai di masjid, hendaknya masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca doa masuk masjid. Bacaan doa masuk masjid sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ. وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah, ‘Allahummaftahlii abwaaba rahmatik’ (Ya Allah, bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu). Jika keluar dari masjid, ucapkanlah: ‘Allahumma inni as-aluka min fadhlik’ (Ya Allah, aku memohon pada-Mu di antara karunia-Mu).” (HR. Muslim 713)
 [Tidak Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat]
Harap diperhatikan ketika kita berjalan di dalam masjid, jangan sampai melewati di depan orang yang sedang shalat. Hendaklah orang yang lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa yang diperbuatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat  mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 ( tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yangsedang  shalat.” (HR. Bukhari 510 dan Muslim 1132)
Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau di depan imam. Adapun jika lewat di depan makmum maka tidak mengapa. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas ketika beliau menginjak usia baligh. Beliau pernah lewat di sela-sela shaf jamaa’ah yang diimami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledainya  baru kemudian beliau bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan tersebut (Lihat dalam riwayat Bukhari 76 dan  Muslim 504). Namun demikian, sebaiknya memilih jalan lain agar tidak lewat di depan shaf makmum.
[Melaksanakan Shalat Dua Rakaat Sebelum Duduk]
Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat tahiyatul masjid. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” (H.R. Bukhari 537 dan Muslim 714)
Syariat ini berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib jumat, dimana tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat tahiyatul masjid sebelum khutbah. Akan tetapi beliau datang dan langsung naik ke mimbar. Syariat ini juga berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah shalat dua rakaat sebelum duduk di dalam masjid. Tujuan ini sudah tercapai dengan shalat apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Oleh karena itu, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat wajib, semuanya merupakan tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum duduk. Merupakan suatu hal yang keliru jika tahiyatul masjid diniatkan tersendiri, karena pada hakikatnya tidak ada dalam hadits ada shalat yang namanya ‘tahiyatul masjid’, akan tetapi ini hanyalah penamaan ulama untuk shalat dua rakaat sebelum duduk. Karenanya jika seorang masuk masjid setelah adzan lalu shalat qabliah atau sunnah wudhu, maka itulah tahiyatul masjid baginya. Tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap waktu seseorang itu masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya. Termasuk di dalamnya waktu-waktu yang terlarang untuk shalat, menurut sebagian pendapat kalangan ulama.
[Menghadap Sutrah Ketika Shalat]
Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa berupa tembok, tiang, orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll. Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian. Dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat menghadap sutrah terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ 651)
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutrah adalah wajib karena adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.. Dalam shalat berjamaah yang menghadap sutrah adalah imam, dan sutrah bagi imam juga merupakan sutrah bagi makmum yang dibelakangnya.
Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menghalanginya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Bukhari 509 dan Muslim 1129)
[Menjawab Panggilan Adzan]
Ketika mendengar adzan, dianjurkan untuk menjawab adzan. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Bukhari 611 dan Muslim 846)
Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat{ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ,  حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ} disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat { لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ } sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka hendaklah  kalian yang mendengar menjawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dijawab, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alash Shalah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alal Falah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka dijawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Dan muadzin berkata, “Laa Ilaaha illallah”, maka dijawab, “La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim. 848)
Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut :
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang setelah mendengar adzan membaca doa : Allahumma Robba hadzihid da’wattit taammah was shalatil qaaimah, aati muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wab’atshu maqaamam mahmuudanil ladzi wa ‘adtahu “(Ya Allah pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya) melainkan dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Bukhari 94)
[Tidak Keluar dari Masjid Tanpa Uddzur]
Jika kita berada di dalam masjid dan adzan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai dtunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada udzur. Hal ini sebagaiamana dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiyallahu’anhu, beliau berkata :
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 “Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau berkata : “ Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam” (H.R Muslim 655)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas dibenci keluar dari masjid setelah ditunaikannya adzan sampai sholat wajib selesai ditunaikan, kecuali jika ada udzur.
Tidak boleh keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan kecuali  ada udzur seperti mau ke kamar kecil, berwudhu, , mandi, atau keperluan mendesak lainnya.
[Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah]
Hendakanya kita memanfaatkan waktu antara adzan dan iqomah dengan amalan yang bermanfaat seperti shalat sunnah qabliyah, membaca al quran, berdizikir, atau berdoa. Waktu ini  merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة
Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)
Boleh juga diisi dengan membaca quran atau mengulang-ulang hafalan al quran asalkan tidak dengan suara keras agar tidak mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).
Tidak selayaknya seseorang justru mengisi waktu-waktu ini dengan obrolan-obrolan yang tidak bermanfaat.
[Jika Iqamah Telah Dikumandangkan]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
 Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jika shalat wajib telah dilaksanakan, maka tidak beleh ada shalat lain selain shalat wajib” (H.R Muslim 710)
Berdasarkan hadits di atas, jika seseorang sedang shalat sunnah kemudian iqamah telah dikumandangkan, maka tidak perlu melanjutkan shalat sunnah tersebut dan langsung ikut shalat wajib bersama imam.
[Raihlah Shaf yang Utama]
Di antara kesempurnaan shalat berjamaah adalah sebisa mungkin menempati shaf yang utama. Bagi laki-laki yang paling depan, adapun bagi wanita yang paling belakang. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (H.R.Muslim 440)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لاَسْتَهَمُوْا
Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 721 dan Muslim 437)
[Merapikan Barisan Shalat]
Perkara yang harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan adalah permasalahan lurus dan rapatnya shaf (barisan dalam shalat). Masih banyak kita dapati di sebagian masjid, barisan shaf yang tidak rapat dan lurus
Dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Nu’man bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَتُسَوُّنَّ سُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
 “Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian” (HR. Bukhari 717 dan Muslim 436)
[Jangan Mendahului Gerakan Imam]
Imam shalat dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk semuanya“. (H.R. Bukhari 734)
Rasulullah memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti disebutkan dalam hadits berikut:
َ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَار
Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam takut jika Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala  keledai? “(H.R Bukhari 691)
[Berdoa Ketika Keluar Masjid]
Dari Abu Humaid atau dari Abu Usaid dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu).” (HR. Muslim. 713)
Ketika kelauar masjid dmulai dengan kaki kiri terlebih dahulu.
[Jika Wanita Hendak Pergi ke Masjid]
Tempat shalat yang paling baik bagi seorang wanita adalah di dalam rumhanya. Allah Ta’ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab :33)
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud dan dihasankan di dalam kitab Irwa Al Ghalil 515)
Namun demikian, tidak terlarang bagi seorang wanitaa untuk pergi ke masjid. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan :
  1. Meminta izin kepada suami atau mahramnya
  2. Tidak menimbulkan fitnah
  3. Menutup aurat secara lengkap
  4. Tidak berhias dan memakai parfum
Abu Musa radhiyallahu‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً ».

Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib 2019)
Inilah di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak shalat berjamaah di masjid. Semoga penjelasan ini dapat menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam.[1]
Penulis: Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id