Tuesday, March 26, 2013

Posting kali ini adalah lanjutan dari faedah tafsir surat Al Mulk ayat pertama.
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Maut adalah Makhluk
Ibnu Katsir mengatakan bahwa dari ayat ini menunjukkan kalau maut itu adalah sesuatu yang ada dan ia adalah makhluk.[1] Maut adalah makhluk karena maut itu diciptakan.
Maut diciptakan dalam bentuk domba. Jika ia melewati sesuatu pasti akan mati. Sedangkan hayat (kehidupan) diciptakan dalam bentuk kuda. Jika ia melewati sesuatu pasti akan hidup. Inilah pendapat Maqotil dan Al Kalbiy.[2] Tugas kita hanyalah mengimani maut dan hayat, walaupun keduanya tidak nampak bagi kita (perkara ghoib). Seorang mukmin adalah seseorang yang beriman pada perkara yang ghoib.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
Orang yang bertaqwa adalah yang mengimani perkara ghoib.” (QS. Al Baqarah: 3)
Mati dan Hidup adalah Kehendak Allah
Ath Thobariy mengatakan bahwa Allah akan mematikan siapa saja dan apa saja. Begitu pula ia akan memberi kehidupan pada siapa saja dan apa saja hingga waktu yang ditentukan.[3]
Dunia Hanyalah Kehidupan Sementara Waktu
Dari ‘Atho’, dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kematian akan ditemui di dunia. Sedangkan kehidupan hakiki adalah di akhirat.” Qotadah mengatakan, “Allah memang menentukan adanya kematian dan kehidupan di dunia. Namun Allah menjadikan dunia ini sebagai negeri kehidupan yang pasti akan binasa. Sedangkan Allah menjadikan negeri akhirat sebagai negeri balasan dan akan kekal abadi.”[4]
Kenapa Allah Menyebutkan Kematian Lebih Dahulu Baru Kehidupan?
Ada beberapa alasan yang disebutkan oleh para ulama:
Alasan pertama: Karena kematian itu akan kita temui di dunia. Sedangkan kehidupan yang hakiki adalah di akhirat. –Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas di atas-
Alasan kedua: Segala sesuatu diawali dengan tidak adanya kehidupan terlebih dahulu seperti nutfah, tanah dan semacamnya. Baru setelah itu diberi kehidupan.[5]
Alasan ketiga: Penyebutan kematian lebih dulu supaya mendorong orang untuk segera beramal.
Alasan keempat: Kematian itu masih berupa nuthfah (air mani), mudh-goh (sekerat daging) dan ‘alaqoh (segumpal darah), sedangkan kehidupan jika sudah tercipta wujud manusia dan ditiupkan ruh di dalamnya.[6]
“Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
Beberapa tafsiran mengenai “siapakah yang lebih baik amalnya”:
Pertama: siapakah yang paling baik amalannya di antara kita dan nanti masing-masing di antara kita akan dibalas.
Kedua: siapakah yang paling banyak mengingat kematian dan paling takut dengannya.
Ketiga: siapakah yang paling gesit dalam melakukan ketaatan dan paling waro’ (berhati-hati) dari perkara yang haram. [7]
Keempat: siapakah yang paling ikhlas dan paling benar amalannya. Amalan tidak akan diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal adalah selalu mengikuti petunjuk Nabi. Inilah pendapat Fudhail bin ‘Iyadh.
Kelima: siapakah yang lebih zuhud dan lebih menjauhi kesenangan dunia. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri.[8]
Syarat Diterimanya Ibadah Bukan Hanya Niat yang Ikhlas
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Al Fudhail bin ‘Iyadh lalu berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.”[9]
Oleh karena itu, syarat diterimanya ibadah itu ada dua:
  1. Niat yang ikhlas
  2. Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Semata-mata hanya ikhlas dalam beramal, namun tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak. Misalnya niatnya ikhlas membaca Al Qur’an, namun dikhususkan pada hari ketujuh kematian orang tuanya, maka amalan ini tertolak karena amalan seperti ini tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Tidak Menuntut Banyak Kuantitas Amalan, Namun Kualitasnya
Dalam ayat “supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”, di situ tidak dikatakan siapakah yangpaling banyak amalannya. Namun dikatakan siapakah yang paling baik amalannya. Sehingga dituntut dalam beramal adalah kualitas (ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi), bukan kuantitasnya.[10]
Tidak Ada yang Dapat Menghalangi Kehendak Allah, Namun Dia Maha Pengampun
Dalam penutupan ayat kedua dari surat Al Mulk, Allah menyebut,
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Di dalamnya terkandung makna tarhib (ancaman) dan targhib (motivasi). Maksudnya, Allah melakukan segala sesuatu yang Dia inginkan dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Allah akan menyiksa hamba-Nya jika mereka durhaka (enggan taat) pada-Nya dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Namun Allah Maha Menerima Taubat jika hamba yang terjerumus dalam maksiat dan dosa bertaubat dengan kesungguhan pada-Nya.[11] Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu setinggi langit dan Dia pun akan menutup setiap ‘aib (kejelekan) walaupun ‘aib itu sepenuh dunia.[12]
Betapa indahnya, jika terus mendalami makna Kitabullah.
“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.”[13]
Segala puji bagi Allah yang nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Panggang, Gunung Kidul, Jum’at pagi, 19 Dzulqo’dah 1430 H.


[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Tafsir Ibnu Katsir, 8/176, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[2] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/262, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ath Thobariy, 23/505, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[4] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowiy, 8/173,  Darut Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H.
[5] Idem
[6] Fathul Qodir, 7/262
[7] Idem
[8] Ma’alimut Tanzil, 8/176
[9] Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 20, Darul Muayyad, cetakan pertama, 1424 H
[10] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/176.
[11] Tafsir Juz Tabaarok, Abu ‘Abdillah Musthofa bin Al ‘Adawiy, hal. 14-15, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
[12] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 875, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[13] HR. Bukhari no. 5059, dari Abu Musa Al Asy’ari

No comments:

Post a Comment