Monday, July 11, 2011




Bulan Sya'ban

Sya’ban adalah nama bulan. Dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban juga karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Jamaknya adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin.

Shaum di bulan Sya’ban

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957 : ”Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.”

Sebagian ulama diantaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan Sya’ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: “Saya tidak mengetahui beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.” Dan dalam riwayat Muslim juga No. 1955 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “ Saya tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali bulan Ramadhan.” Dan dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa asatu bulan penuh selain Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya’ban, sebagai puasa sunnah, lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya’ban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/461.

Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Sya’ban diantara puasa yang lain sama dengan kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam: “Sya’ban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan”, menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung –bulan haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Sya’ban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang, bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.

Puasa pada Akhir bulan Sya’ban

Telah tsabit dalam Shahihain dari ‘Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dan dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya’ban?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).

Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).

Apabila seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagaimana kita mengkompromikan hadits anjuran berpuasa (Hadits ‘Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?

Berkata kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.

Dan dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Sya’ban ada pada tiga keadaan:

1. Berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

2. Berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha’ Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.

3. Berpuasa dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, diantaranya adalah Hasan Al-Bashri –meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, Al-Auzai’, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.

Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.

Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)?

Jawabnya adalah karena dua hal:

Pertama: agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dan hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka diantara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya. Dan ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.

Kedua: Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyari’atkan untuk dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib. Karenanya disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah shalat shubuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).

Barangkali sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu.

Wallahu ta’ala a’lam.

Maraji’: Lathaaiful Ma’arif fi ma Limawasimil ‘Aami minal Wadhaaif, Ibnu Rajab Al-Hambali.

Al-Ilmam bi Syai’in min Ahkamish Shiyam, ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi.

(Diterjemahkan dari artikel berjudul Haula Syahri Sya’ban di http://www.islam-qa.com oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)

No comments:

Post a Comment