Wednesday, July 11, 2012


TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
http://almanhaj.or.id/content/3297/slash/0


Bentuk-Bentuk Tabarruj [1]
1. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan
meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari
kedua pundak dan bukan dari atas kepala [2]. Ini bertentangan dengan
makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ

“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”
[al-Ahzaab: 59].

Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh
wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat
Islam.

2. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua
bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk
bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang
menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh
tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk
bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.

3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan
bagi wanita yang mengenakannya.

Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar
rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan
laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ...

“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan
perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak
mereka…” [an-Nuur: 31].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan
diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi
perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya
justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda
lihat, sangat jelas dan tidak samar” [3]

Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang
banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan
renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat
menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya
sebagai perhiasan baginya.

Insya Allah, pembahasan tentang ini akan penulis ulas lebih rinci pada
pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.

4. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis
maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat)
cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan)
seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu
terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.

Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan
tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat
dicium dari jarak sekian dan sekian” [4]

Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan
pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan
sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka
telanjang” [5]

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam
“al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul
Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat
Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan
dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut
dan berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang
diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma meminta kerudung lain dan memakaikannya”.

5. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan
(bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian
yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang,
sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari
memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat
terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun
jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi
membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata
laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan
pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan)
jilbab/pakaian yang longgar” [6]

Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan
kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang
memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian
yang dipakai para wanita di jaman ini [7]

Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang
syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di
antaranya: hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal
(sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab
tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [8]

Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal,
pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk
istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku
berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai
pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku
khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)”
[9].

Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian
qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun
demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi
wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain,
agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika
pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga
mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya.

Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa
ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan
sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu
anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam keadaan buta
matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian tersebut dengan
tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan pakaian ini
padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata
kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka
Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak tipis
tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya” [10].

6. Termasuk tabarruj: wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun
dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu
melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita
itu adalah seorang pezina” [11].

Bahkan dalam hadits shahih lainnya [12], Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita
yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di
mesjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang
keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.

Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya
seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk
dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya [13]

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh
wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab)
untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi,
perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh
mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika
keluar rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai
wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan
tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki)
ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan
untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua
ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan
(fitnah)” [14].

7. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian yang menyerupai
pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan
pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki”
[15]

Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [16]

Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang
menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian
maupun hal lainnya [17]

Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang
memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah
bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang
memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang
menyerupai laki-laki” [18]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan
budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau
berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model)
laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [19]

Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita
yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana
panjang model laki-laki [20]

Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai
laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka
berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada
zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [21].

8. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu
pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya,
dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[22]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya
pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya
api Neraka” [23]

Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini,
karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara
berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain.
Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada
perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka.

Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan
biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan
memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian
yang dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal,
bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan
dia disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang.

Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini
ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya
disembunyikan.

Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar
rumah, karena ini diharamkan pada zatnya [24].
_______
Footnote
[1]. Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi
asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad
Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[2]. Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141).
[3]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120).
[4]. Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir”
(hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani, dan
hadits kedua riwayat imam Muslim (no.
[5]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).
[6]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[7]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 132-133).
Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan
jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[8]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[9]. HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[10]. Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252)
dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 127).
[11]. HR an-Nasa'i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424)
dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban,
al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani.
[12]. Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031).
[13]. Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 139).
[14]. Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).
[15]. HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325),
al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh
Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 141).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 5546).
[17]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 146-147).
[18]. HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[19]. Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261).
[20]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150), “Syarhul
kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab
fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).
[21]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul
kaba-ir” (hal. 212).
[22]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213).
[23]. HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad (2/92),
dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[24]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 38).

No comments:

Post a Comment