Friday, June 10, 2011

Shalat Dhuha


Oleh: Abu Haris

Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0

Keutamaan Shalat Dhuha
Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang
diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda

“Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian
harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap
tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah)
adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah
kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua
rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim[2]

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia,
dimana Dia berfirman.

“Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku
mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, dia berkata :”Tidak ada
yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah
(Awwaab)”. Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang
kembali kepada Allah (Awwaabin)”. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan
Al-Hakim. [4]

Hukum Shalat Dhuha
Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha
pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]

Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang
menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya. [6]

Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha

Waktu Shalat Dhuha
Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan
waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.

Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu
Dzar Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut
adalah ; “Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat”.

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah lalu duduk berdzikir
kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka’at
[7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya,
sepenuhnya, sepenuhnya” [8]

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap
berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya
seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah,
sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya”. Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani.

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah, kemudian dia duduk
berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…” Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani.[9]

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan
shalat Dhuha (pagi).

Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid
bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat
Dhuha. Lalu dia berkata “Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada
saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda.

“Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika
anak-anak unta sudah merasa kepanasan”[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya
Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua,
empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits
Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian
harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat
shalat Dhuha” Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu
Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman
:”Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku
akan mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di
dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu
Hani, di mana dia bercerita :”Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat
tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak menuju
tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya,
Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah
itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat” [15] Diriwayatkan
Asy-Syaikhani. [16]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits
Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan
termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia
tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam
rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan
delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan
patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan
membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak
juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada
hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada
seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan
yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha saat ditanya oleh Mu’adzah
:”Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat
Dhua?” Dia menjawab : “Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah”
[18]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh
keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Shalat malam dan
siang itu dua rakaat dua rakaat” [19]

Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara
bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu
ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang
telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :”Ruku’lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat”. Dan juga seperti
sabda beliau :”Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia
ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah” Wallahu a’lam

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi
Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam
Asy-Syafi’i]
___________
Foote Note
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah
as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan
untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233
[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut
Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha
Rak’aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka’aatin wa Ausathuha Arba’u Raka’aatin au
Sittin wal Hatstsu ‘alal Muhaafazhati ‘alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga
kitab, Jami’ul Ushuul (IX/436)
[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440
dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah,
bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : ‘Hasan gharib” Dan dinilai shahih
oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai
shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta
dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami’ul Ushuul (IX/4370.
[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam
kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan
juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma’ul Bahrain) tanpa
ucapan :”Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah
(Awwaabiin)”.
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan
dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits
Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).
[5]. Majmuu’al Al-Fataawaa (XXII/284)
[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu.
(Nailul Authaar III/77).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan
kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum
sunnatnya, dimana dia mengatakan : “Muncul pertanyaan : ‘Apakah yang lebih
baik, mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus
seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Inilah di antara
yang mereka pedebatkan”. Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan
;”Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu
lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang
tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi
pengganti bagi qiyamul lail” Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).
Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara
mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau
sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan
dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan
kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha
secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan
demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa
seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, lihat
kitab Jaami’ul Ushuul (VI/108-109).
[7]. Ath-Thibi mengatakan : “Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan
shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang
lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq
sebelumnya.
[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush
Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba’da Shalaatish
Shubhi Hatta Taathlu’a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :”Hasan gharib”. Dengan beberapa
syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul
Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya
pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab
Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan
oleh muhaqqiq kitab Jaami’ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.
[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul
Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan
dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib
(I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu’uz Zawaa’id (X/104)
[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan :
Ar-Ramdhaa’ berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu,
ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang
masih kecil”. Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)
[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul
Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits
no. 748.
[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab
Asy-Syamaa’il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih
lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156).
Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil
(II/216).
[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa
shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab,
Zaadul Ma’ad (III/4100 dan juga Aunul Ma’buud (I/497)
[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di
antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no.
1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi
Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan
lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/110).
[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma’uz Zawaa’id
(II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab
Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya’qub Az-Zam’i. Dinilai tsiqah oleh
Ibnu Mu’in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha’if oleh Ibnul Madini dan
lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya’qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan
buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan
diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang
diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam
kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu ‘anhuma dinilai
hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).
[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin
wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak’ataani wa
Akmalaha Tsamaanu Rak’atin wa Ausathuha Arba’u Rak’atin au Sittin wa Hatstsu
‘alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).
[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya
Peringatan.
Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh :
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat
Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat’. Dan hadits
Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan
lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh
Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang
meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu
Hatim mengatakan :”Dia bukan seorang yang kuat”. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di
dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : “Darinya, Wahb bin Abdillah
meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan”.
Yahya bin Ma’in mengatakan :”Dia seorang yang haditsnya dha’if”. Abu Shalih
mengatakan ;”Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di
dalam haditsnya terdapat sesuatu” Al-Bukhari mengatakan : “Haditsnya munkar”
Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya.
Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak
dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia
riwayatkan sendiri. Wallahu a’lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha’if (lemah) oleh Al-Albani di dalam
komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya,
dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal.
258-259)

No comments:

Post a Comment