Sunday, June 19, 2011



Suami Pelit atau Istri yang Boros?


Soal suami pelit, itu biasa. Istri boros menggunakan uang suami? Juga umum terjadi. Tapi kalau suami dengan istri saling melempar tuduhan bahwa pasangannya yang pelit atau pasangannya yang justru pemboros, siapa yang benar? Untuk mengetahui itu, harus ada ‘standarisasi’ sikap pelit dan pemborosan. Bila sulit dibuktikan, harus ada solusi lain yang segera diambil untuk menyelesaikan persoalan. Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal itu:

Suami Pelit?

Diantara hak-hak istri yang paling utama adalah memberikannya nafkah. Menafkahi istri adalah bentuk ibadah dan taqarrub yang paling besar yang dapat dilakukan seorang hamba. Nafkah itu sendiri mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala yang dibutuhkan oleh seorang istri jasmani maupun rohani. Sehubungan dengan istri yang mengeluh karena suami dianggap kurang dalam menafkahinya. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa kaum lelaki-lah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan wanita. Itu catatan pertama. Oleh sebab itu, kaum lelaki juga memiliki hak kepemimpinan dan keutamaan dibandingkan kaum wanita, karena kaum lelaki jualah yang memberi nafkah kepada mereka, dalam bentuk mahar atau uang belanja. Allah berfirman:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”

Wajibnya bentuk pemberian nafkah semacam itu telah disebutkan dalam Kitabullah, Sunnah yang shahih dan ijma’ para ulama. Adapun dalil-dalil dari Kitabullah di antaranya firman Allah:

“…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya….”(Al-Baqarah : 233)

Demikian juga firman-Nya:

“….dan apabila mereka (istri-istri yang ditalak) dalam keadaan hamil, berikanlah kepada mereka nafkah sehingga mereka bersalin…”(Ath-Thalaq : 6)

Adapun dalil-dalilnya dari ajaran As-Sunnah, banyak diriwayatkan dari hadist-hadist yang menegaskan wajibnya seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya serta semua yang berada dalam asuhannya, sebagaimana ditegaskan dalam hadist Jabir bin Abdullah -Radhiallahu’anhu- bahwa Nabi menyatakan dalam Hajjatul Wadaa’ : “Bertaqwalah kepada Allah dalam memelihara wanita, sesungguhnya mereka itu adalah tawanan bagi dirimu; kamu memiliki mereka dengan amanah kepada Allah dan kamu halalkan kemaluan mereka dengan kalimatullah, maka hak mereka atas dirimu adalah hendaknya kamu memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang baik.” (HR. Muslim VII : 183)

Dari Ibnu Umar bin Ahwash -Radhiallahu’anhu- diriwayatkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda dalam Hajjatul Wada’: “Ingatlah, aku wasiatkan agar kalian bersikap baik kepada kaum wanita; sesungguhnya kaum wanita adalah tawanan bagi dirimu, kamu tidak memiliki hak lebih dari itu, kecuali apabila mereka mereka melakukan perbuatan nista yang nyata; bila mereka melakukannya, pisahkan tempat tidur mereka dan pukullah dengan pukulan yang tidak membahayakan. Kalau mereka kembali taat, janganlah mencari-cari masalah lagi dengan mereka. Ingatlah, bahwa kalian memiliki kewajiban atas istri-istri kalian, sebagaimana mereka juga memiliki kewajiban atas kalian. Adapun hak kalian adalah agar tidak seorangpun yang boleh berbaring di atas tempat tidur kalian dari kalangan yang tidak kalian sukai, dan tidak boleh istri-istri kalian membiarkan masuk orang yang kalian tidak sukai. Dan ingatlah, bahwa hak mereka atas diri kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam soal makanan dan pakaian.”

Hadist tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 1163 dan Ibnu Majah 1851. At-Tirmidzi berkomentar: “Hadist ini hasan shahih.”

Dalam hadist Muawiyyah in Hidah disebutkan bahwa ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: “Apa hak seorang istri terhadap diri suaminya?” Beliau menjawab: “Hendaknya kamu memberi makan sebagaimana kamu makan, dan memberi pakaian sebagaimana kamu berpakaian, janganlah kamu menjelek-jelekkan wajahnya dan jangan kamu memukulnya.” (HR. Abu Dawud II : 224 dan Ibnu Majah 1850 serta Ahmad IV : 446)

Al-Baghawi berkata: “Imam Al-Khattabi menyatakan, ‘Dalam hadist itu terdapat pernyataan bahwa memberi makan dan menyediakan pakaian adalah wajib. Dan kewajiban itu tentu tergantung kemampuan suami. Namun karena Nabi telah menjadikan itu sebagai hak istri terhadap suaminya, maka adalah wajib hukumnya, ada ataupun tidak. Artinya, bila si suami tidak ada pada saat tertentu, akan menjadi hutang yang harus ditunaikan pada waktu lainnya sebagaimana kewajiban-kewajiban lain. Baik hakim menetapkan itu sebagai kewajibannya ketika ia tidak ada ataupun tidak.

Dari Wahab diriwayatkan bahwa ia berkata bahwa bekas budak Abdullah bin amru pernah berkata kepada Ibnu Amru: “Pada bulan ini, aku ingin tinggal disini, “yakni di Baitul Maqdis, Ibnu Umar bertanya: “Apakah engkau meninggalkan bekal yang cukup untuk keluargamu?” Lelaki itu menjawab: “Tidak.” “Kalau begitu, pulanglah kamu dan persiapkan bekal yang cukup untuk keluargamu, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Seseorang sudah cukup dianggap berdosa, ketika ia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Ahmad II : 160 dan abu8 DAwud 1692) Asal hadist di atas dari Muslim 245, dengan lafazh : “Seseorang sudah cukup dianggap berdosa, ketika ia tidak memberikan nafkah kepada yang berhak menerima darinya.”

Dari Anas diriwayatkan, dari Nabi diriwayatkan bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang bawahannya, apakah ia memeliharanya atau menyia-nyiakannya, sehingga seseorang pun ditanya tentang keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban dan beliau hasankan dalam Shahihul Jamie’ no.1774).

Dalam hadist Abu Hurairah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Apabila seorang di antara kamu pergi dan mencari kayu baker, lalau menjualnya, untuk mencukupi kebutuhannya, kemudian ia sedekahkan, itu lebih baik daripada ia meminta kepada orang lain, diberi ataupun tidak. Karena tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang dibawah. Namun mulailah dari orang yang berhak engaku nafkahi’.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Ahmad II : 524 disebutkan bahwa ada orang bertanya: “Siapakah yang berhak aku nafkahi, wahai Rasulullah. “Beliau menjawab: “Istrimu termasuk yang berhak engkau nafkahi.”

Adapun ijma’ para ulama, dinyatakan oleh Imam Ibnu Quddamah -Rahimahullah- dalam Al-Mughni VII : 564: “Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya memberi nafkah kepada istri bagi seorang suami, kalau mereka mampu, kecualli bagi istri yang berbuat nista. Hal itu disebutkan oelh Ibnu Mundzir dan ulama lainnya. Nash-nash yang tersebut sebelum ini menunjukkan wajibnya seorang lelaki memberi nafkah kepada keluarganya, memperhatikan kemaslahatan mereka danmengurus mereka. Banyak hadist yang diriwayatkan dari Nabi, yang menunjukkan keutamaannya dan bahwa semua itu termasuk amal shalih di sisi Allah, sebagaimana tercantum dalam hadist Abu Mas’ud Al-Anshari bahwa Nabi pernah bersabda : “Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada kelaurganya, sementara ia menghisab diri, maka itu akan menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari I : 136)

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- menyatakan dalam “Fathul Bari” IX : 298: “Menafkahi keluarga menurut ijma’ ulama adalah wajib. Islam menyebutnya sebagai sadaqah, karena dikhawatirkan orang-orang akan menyangka bahwa dengan melakukan yang wajib itu, mereka tidak memperoleh pahala. Padahal mereka telah mengetahui pahala dari amal sadaqah, agar mereka tidak mengalihkannya kepada orang lain, sebelum mereka mencukupi kebutuhan keluarga. Yakni untuk mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib daripada sedekah sunnah.

Dalam hadist Saad bin Malik diceritakan bahwa Nabi bersabda : “Sesungguhnya, meskipun engkau memberikan nafkah kepada keluargamu sendiri, engkau tetap memperoleh pahala, sampai sekerat makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari III : 164 dan Muslim 1628. dari Abu Hurairah juga diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : “Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau berikan kepada fakir miskin, dan satu dinar yang engkau berikan sebagai nafkah keluargamu; yang terbaik diantaranya adalah yang engkau berikan sebagai nafkah istrimu.” (HR. Muslim II :692)

Dalam hadist Ka’ab bin Ajizzah juga diriwayatkan bahwa ada seseorang lelaki yang lewat di hadapan Nabi. Para sahabat melihat ada yang menakjubkan pada kulit dan semangatnya. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagus nian apabila keadaannya itu karena berjuang di jalan Allah?” Rasulullah menanggapi: “kalau ia keluar rumah demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, berarti ia di jalan Allah; kalau ia keluar rumah untuk menghidupi ayah ibunya yang sudah tua rebta, berarti ia di jalan Allah; dan apabila ia keluar rumah demi menghidupi dirinya sendiri agar terpelihara, maka ia juga di jalan Allah. Tetapi kalau ia keluar rumah karena rasa sombong dan membanggakan diri, maka ia berada di jalan setan.” (HR. Ath-Thabrani dalam “Shahihul Jamie’” II : 8)

Para ulama As-Salaf telah demikian memahami kewajiban ini dengan baik sekali. Itu Nampak dari ungkapan-ungkapan mereka. Alangkah apa yang dinyatakan oleh Imam Rabbani Abdullah bin Mubarak -rahimahullah- : “Kerja mencari nafkah tidak dapat dibandingkan dengan kerja apapun, termasuk jihad di jalan Allah.”

Jadi seorang suami sudah bisa dianggap ‘pelit’ bila ia melalaikan kewajibannya mencari nafkah, meskipun si istri tidak pernah menuntut atau tercukupi dengan hart yang dia miliki sendiri. Selama si suami mampu dan berkesempatan, ia wajib mencari nafkah demi anak dan istrinya. Bila tidak, ia sudah bisa disebut sebagai suami yang pelit. Apalagi bila suami tersebut sudah memiliki usaha yang mapan, penghasilan yang cukup, tetapi kurang memperhatikan kebutuhan istri dan anaknya. Di sisi lain, ia menghambur-hamburkan hartanya di luar rumah untuk kesenangan pribadi.

Lain halnya bila suami belum mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, setelah ia berusaha mencari nafkah namun belum mendapatkan kesempatan memperoleh rezeki yang mencukupi. Atau ia membatasi pemberian kepada anak istrinya, karena untuk tujuan bersama yang lebih utama. Sperti menyimpan uang untuk membeli keperluan-keperluan mendadak, biaya pengobatan yang tiba-tiba, atau untuk membeli peralatan dan kebutuhan rumah tangga yang hanya bisa dibeli dengan cara menyisihkan sebagian penghasilan.

Istri Pemboros?

Namun disisi lain, seorang istri hendaknya juga mengerti bahwa nafkah yang diberikan suami kepadanya, hanya sebatas kemampuannya dan sesuai dengan kemampuan ekonominya, sebagaimana di firmankan oleh Allah: “Allah hanya membebani seseorang sebatas kemampuannya.” Sehingga ia tidak berhak dengan bersikap keras kepala di hadapan suami dengan banyak menuntut dan menyusahkan suami suami dalam memenuhi nafkahnya. Yang demikian itu adalah cara bergaul yang buruk dengan suami. Tetapi mungkin saja, apabila anda memenuhi tuntutannya yang wajar, sambil menginggatkan dirinya tanpa mencaci dan menyinggung perasaannya dengan cara yang dapat membatasi tuntutan-tuntuannya itu, anda akan dapat meredam sebagian sikapnya yang meledak-ledak serta membuatnya puas sehingga tidak menuntut lebih banyak. Demikian juga halnya dengan dialog dingin tanpa berbantah-bantahan dalam membahas kebutuhan-kebutuhan yang paling vital, seperti membayar uang kontrakan rumah dan sejenisnya. Seorang istri harus secara bijak mengatur keuangan yang terbatas, memilih-milih kebutuhan yang paling mendesak untuk didahulukan, dan sejenisnya. Yang demikian itu dapat membuatnya mengalah untuk tidak meneruskan tuntutannya.

Perlu diketahui, bahwa seringkali kekurangan materi itu dapat diganti dengan ucapan yang baik serta janji yang menyenangkan. Ketika dalam Al-Qur’an Allah menceritakan tentang kewajiban berbuat baik kepada kerabat dekat dan memperbaiki hubungan dengan bantuan materi. Allah juga menyebutkan bagaimana seseorang bersikap ketika ia tidak memiliki harta untuk menjaga hubungan baik sesame saudara. Allah berfirman: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Rabbmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.”

Ibnu Katsier -rahimahullah- menafsirkan ayat ini menyatakan: “Maksudnya, apabila sanak keluargamu memerintahkan kepadamu untuk memberikan sesuatu kepada mereka, sementara kamu tidak memiliki apa-apa, lalu kamu berpaling dari mereka karena tidak dapat memberi nafkah kepada mereka, “maka katakanlah ucapan yang pantas”. Artinya berikanlah kepada mereka janji yang baik dengan lembut dan ringan, yakni apabila Allah memberikan rezeki-Nya, kami akan memberi sesuatu itu kepada kalian, Insya Allah. Harus diketahui, bahwa ahlak yang baik akan dapat membuat orang lupa degan kesempitan ekonomi yang melilit dirimu. Untuk itu maka hendaknya kamu bersabar dan tetap bersikap dengan baik, dan terus memberi nasehat dan menebarkan dakwah. Kalau kondisi hidup semakin sulit dan kondisi perekonomian semakin juga buruk sehingga menemui jalan buntu, sementara segala upaya kamu untuk mengentaskan kondisi buruk itu gagal, sampai-sampai kehidupan tidak bisa dikendalikan lagi, pada saat itu Allah menetapkan adanya syariat thalaq. Terkadang yang demikian itu lebih baik bagi kedua belah pihak. Allah berfirman: “Dan apabila keduanya berpisah, Allah akan mencukupkan kebutuhan masing-masing. Dan Allah adalah Yang Maha Luas Lagi Maha Mengetahui.”

Artinya, harus ada keseimbangan antara ‘tuntutan istri’ dengan ‘kemampuan suami’. Bila secara akumulatif, karakter, sifat, kebiasaan dan latar belakang istri memang tidak bisa sejalan dengan kemampuan suami yang memang sudah mentok. Sementara penyelesaian masalah dengan menanamkan kesabaran juga menemuai jalan buntu. Pada saat itu, tak perlu lagi dicari biang keladinya. Suami yang pelit atau istri yang pemboros. Intinya, kedua belah pihak memang sulit untuk hidup bersama, perceraian (meski suatu yang harus dihindari sebisanya), bisa jadi merupakan alternative.

Sumber: Majalah Nikah Edisi 8/I/2002, hal. 36-39

No comments:

Post a Comment